Sunday 19 May 2013

DASAR DAN TUJUAN ILMU PENDIDIKAN ISLAM



A. Dasar Ilmu Pendidikan Islam

Dasar-dasar dalam uraian ini adalah landasan atau pijakan yang dijadikan tempat berjalannya ilmu pendidikan Islam. Pada prinsipnya, ilmu pendidikan Islam berfungsi mengembangkan pendidikan Islam itu sendiri.[1] Dasar pendidikan Islam merupakan landasan operasional yang dijadikan untuk merealisasikan dasar ideal/sumber pendidikan Islam.[2]
Menurut Hasan Langgulung, dasar operasional pendidikan Islam terdapat enam macam, yaitu historis, sosiologis, ekonomi, politik dan administrasi, psikologis, dan filosofis, kemudian dari yang enam itu ditambahkan lagi dengan religius oleh Dr. Abdul Mujib, M.Ag. Agar lebih sistematis, berikut ini akan dijabarkan 7(tujuh) bagian dari dasar-dasar ilmu pendidikan Islam:[3]

1. Dasar Historis

Dasar historis adalah dasar yang berorientasi pada pengalaman pendidikan masa lalu, baik dalam bentuk undang-undang maupun peraturan-peraturan, agar kebijakan yang ditempuh masa kini akan lebih baik. Dasar ini juga dapat dijadikan acuan untuk memprediksi masa depan, karena dasar ini memberi data input tentang kelebihan dan kekurangan kebijakan serta maju mundurnya prestasi pendidikan yang telah ditempuh. Firman Allah Swt. dalam surat Al Hasyr ayat 18: “Dan hendaklah setiap orang memerhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok(akhirat).[4]” Misalnya, bangsa Arab memiliki kegemaran untuk bersastra, maka pendidikan sastra di Arab menjadi penting dalam kurikulum masa kini, sebab sastra selain menjadi identitas dan potensi akademik bagi bangsa Arab juga sebagai sumber perekat bangsa.  

2. Dasar Sosiologis    

Dasar sosiologis adalah dasar yang memberikan kerangka sosiobudaya, yang mana dengan sosiobudaya itu pendidikan dilaksanakan. Dasar ini juga berfungsi sebagai tolok ukur dalam prestasi belajar. Artinya, tinggi rendahnya suatu pendidikan dapat diukur dari tingkat relevansi output pendidikan dengan kebutuhan dan keinginan masyarakat.

3. Dasar Ekonomi

Dasar ekonomi adalah dasar yang memberikan perspektif tentang potensi-potensi finansial, menggali dan mengatur sumber-sumber, serta bertanggung jawab terhadap rencana dan anggaran pembelanjaannya. Oleh karena pendidikan dianggap sebagai sesuatu yang luhur, maka sumber-sumber finansial dalam menghidupkan pendidikan harus bersih, suci dan tidak bercampur dengan harta benda yang syubhat.

4. Dasar Politik dan Administratif

Dasar politik dan administrasi adalah dasar yang memberikan bingkai ideologis, yang digunakan sebagai tempat bertolak untuk mencapai tujuan yang dicita-citakan dan direncanakan bersama. Dasar poitik menjadi penting untuk pemerataan pendidikan, baik secara kuantitatif maupun kualitatif.

5. Dasar Psikologi

Dasar psikologi adalah dasar yang memberikan informasi tentang bakat, minat, watak, karakter, motivasi dan inovasi peserta didik, pendidik, tenaga administrsi, serta sumber daya manusia yang lain. Dasar ini berguna juga untuk mengetahui tingkat kepuasan dan kesejahteraan batiniah pelaku pendidikan, agar mereka mampu meningkatkan prestasi dan kompetisi dengan cara yang baik dan sehat. 

6. Dasar Filosofis

Dasar filosofis adalah dasar yang memberi kemampuan untuk memilih yang terbaik, memberi arah suatu sistem, mengontrol dan memberi arah kepada semua dasar-dasar operasional lainnya. Bagi masyarakat sekuler, dasar ini menjadi acuan terpenting dalam pendidikan, sebab filsafat bagi mereka merupakan induk dari segala dasar pendidikan. Sementara bagi masyarakat religius, seperti masyarakat muslim, dasar ini sekadar menjadi bagian dari cara berpikir dibidang pendidikan secara sistematik, radikal, dan universal yang asas-asasnya diturunkan dari nilai ilahiah.   

7. Dasar Religius

Dasar religius adalah dasar yang diturunkan dari ajaran agama. Dasar ini secara detail telah dijelaskan pada sumber pendidikan Islam. Dasar ini menjadi penting dalam pendidikan Islam, sebab dengan dasar ini maka semua kegiatan pendidikan menjadi bermakna.
 

B. Tujuan Ilmu Pendidikan Islam

Tujuan ialah suatu yang diharapkan tercapai setelah sesuatu usaha atau kegiatan selesai.[5] Tujuan harus bersifat stasioner artinya telah mencapai atau meraih segala yang diusahakan. Misalnya, saya berniat melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi maka setelah niat itu terlaksana, berarti tujuan telah tercapai. Adapun untuk meraih tujuan tersebut dilakukan berbagai usaha merupakan ikhtiyar maqsudi, upaya mencapai maksud.[6]
Dari sekian banyak tujuan pendidikan Islam, ada beberapa tujuan pendidikan Islam yang dapat disistematisasi sebagai berikut:[7]
1.      Terwujudnya insan akademik yang beriman dan bertaqwa kepada Allah Swt.
2.      Terwujudnya insan kamil, yang berakhlakul karimah.
3.      Terwujudnya insan muslim yang berkepribadian.
4.      Terwujudnya insan yang cerdas dalam mengaji dan mengkaji ilmu pengetahuan.
5.      Terwujudnya insan yang bermanfaat untuk kehidupan orang lain.
6.      Terwujudnya insan yang sehat jasmani dan rohani; dan
7.      Terwujudnya karakter muslim yang menyebarkan ilmunya kepada sesama manusia. 
Untuk mewujudkan tujuan di atas, pendidikan Islam harus memiliki lembaga pendidikan yang berkualitas dengan dilengkapi oleh sumber daya pendidik yang kompeten.
Dalam istilah ushuliyah dinyatakan bahwa: “al-umuru bi maqashidiha”, bahwa setiap tindakan dan aktivitas harus berorientasi pada tujuan atau rencana yang telah ditetapkan. Istilah ini menunjukkan bahwa pendidikan seharusnya berorientasi pada tujuan yang ingin dicapai, bukan semata-mata berorientasi pada sederetan materi. Karena itulah, tujuan pendidikan Islam menjadi komponen pendidikan yang harus dirumuskan terlebih dahulu sebelum merumuskan komponen-komponen pendidikan yang lain.[8]   


[1] Beni Ahmad Saebani dan Hendra Akhdiyat, Ilmu Pendidikan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2009) h. 112.
[2]  Abdul Mujib dan Jusuf  Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2008) h. 44.
[3] Ibid.
[4] Departemen Agama RI, Al Qu’ran Al Karim wa Tarjamah Ma’anih ila Al Lughah Al Indunisiyyah, (Jakarta: PT. Arga Printing, 2008) h. 773.

[5] Zakiah Daradjat, dkk, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2009) h. 29.
[6] Beni Ahmad Saebani dan Hendra Akhdiyat, Op.cit., h. 146.
[7] Ibid. hal. 147.
[8]Abdul Mujib dan Jusuf  Mudzakkir, Op.cit., h. 71.

Monday 13 May 2013

Prinsip-prinsip Penggunaan Variasi Belajar Mengajar



Prinsip-prinsip penggunaan variasi belajar mengajar itu adalah sebagai berikut:[1]
1.      Dalam menggunakan keterampilan variasi sebaiknya semua jenis variasi digunakan, selain itu juga harus ada variasi penggunaan komponen untuk tiap jenis variasi. Semua itu untuk mencapai tujuan belajar.
2.      Menggunakan variasi secara lancar dan berkesinambungan, sehingga moment proses belajar mengajar yang utuh tidak rusak, perhatian anak didik dan proses belajar tidak terganggu.
Penggunaan komponen variasi harus benar-benar terstruktur dan direncanakan oleh guru.

Tujuan Variasi Belajar Mengajar

Penggunaan variasi terutama ditujukan terhadap perhatian siswa, motivasi, dan belajar siswa. Tujuan mengadakan variasi dimaksud adalah:[1]

1.      Meningkatkan dan memelihara perhatian siswa terhadap relevansi proses belajar mengajar.
2.      Memberikan kesempatan kemungkinan berfungsinya motivasi.
3.      Membentuk sifat positif terhadap guru dan sekolah.
4.      Memberikan kemungkinan pilihan dan fasilitas belajar individual.
5.      Mendorong anak didik untuk belajar.


[1] Syaiful Bahri Djamarah & Aswan Zain, Strategi Belajar Mengajar, (Jakarta: Rineka Cipta, 2010, Cet. Ke-IV)

POLA BERPIKIR PADA ANAK AUTISME



BAB I

PENDAHULUAN





Setiap hari dalam kehidupan kita, kita mencoba memahami orang lain. Mamahami mengapa seseorang bertingkah laku atau memiliki perasaan tertentu adalah tugas yang sulit. Memang kita tidak selalu paham mengapa kita memiliki perasaan atau bertingkah laku seperti sekarang. Memahami seorang yang bertingkah laku normal saja sudah merupakan tugas yang sulit bagi seorang psikolog. Apalagi memahami seorang yang bertingkah laku abnormal, itu merupakan tugas yang lebih sulit.
Autisme merupakan bagian cabang pembahasan dari psikologi abnormal. Autisme atau gangguan autistik adalah salah satu gangguan terparah di masa kanak-kanak. Autisme bersifat kronis dan berlangsung sepanjang hidup. Anak-anak yang menderita autisme tampak benar-benar sendiri di dunia, terlepas dari upaya orang tua untuk menjembatani muara yang memisahkan mereka. Untuk lebih jelas lagi tentang pola berpikir pada anak autisme, pada makalah ini akan membahas tentang pengertian, ciri-ciri, penyebab, serta penanganan autisme.





Jakarta, 28 Juni 2011


BAB II
PEMBAHASAN



A.    Pengertian Autisme
Kata autisme menurut etimologi berasal dari bahasa Yunani, autos yang berarti self. Sedangakan menurut terminologi autisme adalah gangguan perkembangan pervasif yang ditandai dengan kegagalan untuk berhubungan dengan orang lain, terbatasnya kemampuan bahasa, perilaku motorik yang terganggu, gangguan intelektual, dan tidak menyukai perubahan dalam lingkungan. Cara berpikir autistik adalah kecenderungan untuk memandang diri sendiri sebagai pusat dari dunia, percaya bahwa kejadian-kejadian eksternal mengaju pada diri sendiri. Pada tahun 1943, psikiater lain, Leo Kanner, menerapkan diagnosis “autisme infantil awal” kepada sekelompok anak yang terganggu yang tampaknya tidak dapat berhubungan dengan orang lain, seolah-olah mereka hidup dalam dunia mereka sendiri. Berbeda dari anak-anak dengan retardasi mental, anak-anak ini tampaknya menutup diri dari setiap masukan dunia luar, menciptakan semacam “kesendirian autistik”.[1]
Mereka yang bergerak di bidang kesehatan saat ini yakin bahwa autisme lebih sering muncul daripada yang diyakini dahulu, yaitu menyerang sekitar 2 sampai 20 orang dari 10.000 orang dalam populasi. Gangguan yang lebih banyak terjadi pada anak laki-laki ini umumnya mulai tampak pada anak usia 18-30 bulan. Namun demikian, barulah pada usia sekitar 6 tahun rata-rata anak yang mengalami gangguan ini untuk pertama kali memperoleh diagnosis. Keterlambatan dalam diagnosis dapat merugikan, karena anak-anak autistik umumnya akan menjadi lebih baik bila memperoleh diagnosis dan penanganan lebih awal.[2]
B.     Ciri-ciri Autisme
Mungkin ciri autisme yang paling menonjol adalah kesendirian yang amat sangat. Ciri-ciri lain mencakup masalah dalam bahasa, komunikasi, dan perilaku ritualistik atau stereotip. Anak dapat pula tidak bicara, atau bila terdapat keterampilan berbahasa, biasanya digunakan secara tidak lazim seperti dalam ekokalia (mengulang kembali apa yang didengar dengan nada suara tinggi dan monoton).
Ciri utama dari autisme adalah gerakan stereotip berulang yang tidak memiliki tujuan, berulang-ulang memutar benda, mengepakkan tangan, berayun ke depan dan ke belakang dengan lengan memeluk kaki. Sebagian anak autistik menyakiti diri sendiri, bahkan saat mereka berteriak kesakitan. Mereka mungkin membenturkan kepala, menampar wajah, menggigit tangan dan pundak, atau menjambak rambut mereka. Mereka dapat pula menjadi tantrum atau merasa pani secara tiba-tiba. Ciri lain dari autisme adalah menolak perubahan pada lingkungan, ciri yang diberi istilah “penjaga kesamaan”. Bila ada objek-objek yang dikenal dan digeser dari tempatnya, walaupun sedikit, anak autistik dapat menjadi tantrum atau menangis terus-menerus sampai objek tersebut dikembalikan pada tempatnya.[3]
C.    Penyebab Autisme
Penyebab autisme belum diketahui, tetapi diduga berhubungan dengan abnormalitas. Awalnya, dari sudut pandang yang mendiskreditkannya, penyebab tidak adanya kontak sosial pada anak autistik dikatakan sebagai reaksi terhadap orang tua yang dingin dan mengabil jarak, “lemari es emosional” yang kurang memiliki kemampuan untuk menciptakan hubungan yang hangat dengan anak-anak mereka. Penelitian-penelitian tidak dapat membuktikan asumsi ini yang dianggap menghancurkan hati banyak orang tua bahwa mereka dingin dan jauh. Sudah tentu ada benarnya bahwa anak-anak autistik tidak memiliki hubungan yang cukup baik dengan orang tua mereka, tetapi hubungan sebab akibatnya masih diragukan. Penolakan orang tua tidak menyebabkan autisme, tetapi orang tua dapat berubah menjadi mengambil jarak karena usaha-usaha mereka untuk berhubungan dengan anak berkali-kali gagal. Jadi sikap menjauh merupakan akibat dari autisme, bukan penyebab.
Bukti-bukti dari pemeriksaan pindai MRI dan PET menunjukkan abnormalitas pada otak anak laki-laki dan pria dewasa yang menyandang autisme, termasuk membesarnya ventrikel yang mengindiksikan hilangnya sel-sel otak. Namun para peneliti belum menentukan kerusakan otak seperti apa yang dapat menjadi penyebab autisme. Mungkin autisme berasal dari penyebab majemuk yang melibatkan lebih dari satu tipe abnormalitas otak. Para ahli menduga bahwa penyebab yang mendasari autisme dapat berasal dari kerusakan gen atau pengaruh racun terhadap bayi dalam kandungan. Pada akhirnya, penyebab autisme tetap menjadi misteri.[4]
D.    Penanganan Autisme
Walaupun autisme belum dapat disembuhkan, penelitian selama 30 tahun mendukung pentingnya program penanganan perilaku yang intensif, yang menerapkan prinsip-prinsip belajar untuk mengurangi perilaku yang mengganggu dan meningkatkan keterampilan belajar serta komunikasi pada anak-anak autistik. Tidak ada pendekatan penanganan lain yang memberikan hasil yang sama.
Pendekatan perilaku didasarkan pada metode operant conditioning  di mana reward dan hukuman secara sistematis diaplikasikan untuk meningkatkan kemampuan anak memperhatikan orang lain, bermain dengan anak lain, mengembangkan keterapilan akademik dan menghilangkan perilaku self-mutilative.
Pendekatan biologis hanya memberikan pengaruh yang terbatas pada penanganan autisme. Hal ini dapat berubah. Penelitian menunjukkan bahwa obat-obatan yang meningkatkan aktivitas serotonin, seperti SSRI, dapat mengurangi pikiran dan perilaku repetitif serta agresivitas sehingga menghasilkan perbaikan dalam hubungan social dan penggunaan bahasa pada individu autistik dewasa. Efek dari obat-obatan ini pada anak autistik masih perlu dilihat. Penelitian lain berfokus pada obat-obatan yang biasanya digunakan untuk menangani skizofrenia.


KESIMPULAN



Dari pembahasan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa autisme adalah gangguan perkembangan pervasif yang ditandai dengan kegagalan untuk berhubungan dengan orang lain, terbatasnya kemampuan bahasa, perilaku motorik yang terganggu, gangguan intelektual, dan tidak menyukai perubahan dalam lingkungan. Cara berpikir autistik adalah kecenderungan untuk memandang diri sendiri sebagai pusat dari dunia, percaya bahwa kejadian-kejadian eksternal mengaju pada diri sendiri.
Ciri utama dari autisme adalah gerakan stereotip berulang yang tidak memiliki tujuan, berulang-ulang memutar benda, mengepakkan tangan, berayun ke depan dan ke belakang dengan lengan memeluk kaki. Sebagian anak autistik menyakiti diri sendiri, bahkan saat mereka berteriak kesakitan. Mereka mungkin membenturkan kepala, menampar wajah, menggigit tangan dan pundak, atau menjambak rambut mereka.



DAFTAR PUSTAKA


Nevid, Jeffrey S., dkk., Abnormal Psychology in a Changing World, Terj.; Tim Fakultas Psikologi UI, Psikologi Abnormal, Jilid II, Jakarta: Erlangga, 2005.
Davison, Gerald C., dkk., Abnormal Psychology, Terj.; Noermalasari Fajar, Psikologi Abnormal, Jakarta: Rajawali Pers, 2010.


[1] Jeffrey S. Nevid, dkk., Abnormal Psychology in a Changing World, Terj.; Tim Fakultas Psikologi UI, Psikologi Abnormal, Jilid II, (Jakarta: Erlangga, 2005), hlm. 145.
[2] Ibid., hlm. 145-146.
[3] Ibid., hlm. 146. Lihat juga: Gerald C. Davison, dkk., Abnormal Psychology, Terj.; Noermalasari Fajar, Psikologi Abnormal, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), 719-723.

[4] Ibid., hlm. 147.