Akhlak merupakan suatu perbuatan yang telah tertanam kuat dalam jiwa
seseorang, sehingga menjadi kepribadiannya. Karena sifatnya yang mendarah
daging, maka semua perbuatannya dilakukan dengan mudah dan tanpa pemikiran.
Dengan demikian, baik atau buruknya seseorang dilihat dari perbuatannya.
Induk akhlak Islami yang akan dibahas pada makalah maksudnya adalah sikap
adil dalam melakukan suatu perbuatan. Dari sikap adil tersebut akan muncul
teori pertengahan, karena sebaik-baiknya perkara (perbuatan) itu terletak pada
pertengahannya, hal ini apa yang telah Nabi sabdakan :
ﺧَﻴْﺮُ ﺍْﻷُﻣُﻮْﺭِ ﺃَوْﺳَﻂُﻬَﺎ
Artinya :
“Sebaik-baiknya urusan (perbuatan) adalah yang pertengahan”. (HR. Ahmad).
Oleh karena itu, agar lebih jelasnya lagi tentang induk akhlak Islami, di
dalam makalah ini akan membahas apa yang dimaksud dengan induk akhlak Islami,
serta ketiga macam induk akhlak yang muncul dari sikap adil, yaitu sikap
pertengahan atau seimbang dalam mempergunakan ketiga potensi rohaniah yang
terdapat dalam diri manusia ; akal, amarah dan nafsu syahwat.
Jakarta,
21 Maret 2011
A. Induk Akhlak Islami
Dalam berbagai literatur tentang Ilmu Akhlak Islami, dijumpai uraian
tentang akhlak yang secara garis besar dapat dibagi dua bagian, yaitu akhlak
yang baik (al-akhlaq al-karimah), dan
akhlak yang buruk (al-akhlaq al-mazmumah).
Berbuat adil, jujur, sabar, pemaaf, dermawan dan amanah misalnya termasuk ke
dalam akhlak yang baik. Sedangkan berbuat zalim, berdusta, pemarah, pendendam,
kikir dan curang termasuk ke dalam akhlak yang buruk. Bagaimanakah terjadinya
berbagai akhlak yang mulia dan tercela ini ? Uraian berikut ini akan mencoba
menjawabnya.
Secara teoritis macam-macam akhlak tersebut berinduk kepada tiga
perbuatan yang utama, yaitu hikmah
(bijaksana), syaja’ah (pewira atau
kesatria), dan iffah (menjaga diri
dari perbutan dosa dan maksiat). Ketiga macam induk akhlak ini muncul dari
sikap adil, yaitu sikap pertengahan atau seimbang dalam mempergunakan ketiga
potensi rohaniah yang terdapat dalam diri manusia, yaitu ‘aql (pemikiran) yang berpusat di kepala, ghadab (amarah) yang berpusat di dada, dan nafsu syahwat (dorongan seksual) yang berpusat di perut. Akal yang
digunakan secara adil akan menimbulkan hikmah,
sedangkan amarah yang digunakan secara adil akan menimbulkan sikap perwira, dan
nafsu syahwat yang digunakan secara
adil akan menimbulkan iffah yaitu
dapat memelihara diri dari perbuatan maksiat. Dengan demikian inti akhlak pada
akhirnya bermuara pada sikap adil dalam mempergunakan potensi rohaniah yang
dimiliki manusia. Demikian pentingnya bersikap adil ini di dalam al-Qur’an kita
jumpai berbagai ayat yang menyuruh manusia agar mampu bersikap adil.[1]
Untuk itu perhatikanlah ayat-ayat di bawah ini :
(#qä9ωôã$# uqèd Ü>tø%r& 3“uqø)G=Ï9 (
Artinya :
“Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat
kepada takwa”. (QS. Al-Maidah : 8).[2]
#sŒÎ)ur OçFôJs3ym tû÷üt/ Ĩ$¨Z9$# br& (#qßJä3øtrB ÉAô‰yèø9$$Î/
Artinya :
“Dan apabila kamu menetapkan hukum
di antara manusia hendaknya kamu menetapkannya dengan adil”. (QS. an-Nisa :
58).[3]
* ¨bÎ) ©!$# ããBù'tƒ ÉAô‰yèø9$$Î/ Ç`»|¡ômM}$#ur Ç›!$tGƒÎ)ur “ÏŒ 4†n1öà)ø9$# 4‘sS÷Ztƒur Ç`tã Ïä!$t±ósxÿø9$# Ìx6YßJø9$#ur ÄÓøöt7ø9$#ur 4
öNä3ÝàÏètƒ öNà6¯=yès9 šcrã©.x‹s? ÇÒÉÈ
Artinya :
“Sesungguhnya Allah menyuruh
(kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan
Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi
pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran”. (QS. an-Nahl : 90).[4]
Ayat-ayat tersebut secara keseluruhan bertemakan
perintah berbuat adil yang dihubungkan dengan perbuatan-perbuatan yang baik,
seperti bertakwa kepada Allah, menetapkan keputusan yang bijaksana, berbuat
kebajikan, memberi makan kepada kaum kerabat, menjauhi perbuatan keji dan
munkar serta perbuatan yang menimbulkan permusuhan. Dengan demikian ayat
tersebut dapat dipahami bahwa keadilan erat kaitannya dengan timbulnya berbagai
perbuatan terpuji lainnya.[5]
Berikut ini akan dijelaskan ketiga macam induk akhlak yang muncul dari sikap
adil, yaitu sikap pertengahan atau seimbang dalam mempergunakan ketiga potensi
rohaniah yang terdapat dalam diri manusia :
1. Akal
Akal yang digunakan secara adil akan menimbulkan hikmah. Pemahaman tersebut pada akhirnya akan membawa kepada
timbulnya teori pertengahan, yaitu bahwa sikap pertengahan sebagai pangkal
timbulnya kebajikan. Pemahaman ini sejalan pula dengan isyarat yang terdapat
dalam hadits nabi yang berbunyi :
ﺧَﻴْﺮُ ﺍْﻷُﻣُﻮْﺭِ ﺃَوْﺳَﻂُﻬَﺎ
Artinya :
“Sebaik-baiknya urusan (perbuatan) adalah yang pertengahan”. (HR. Ahmad).
Sebaliknya akhlak yang buruk atau tercela pada dasarnya timbul disebabkan
oleh penggunaan dari ketiga potensi rohaniah yang tidak adil. Akal yang
digunakan secara berlebihan akan menimbulkan sikap pintar busuk atau penipu;
dan akal yang digunakan terlalu lemah akan menimbulkan sikap dungu atau ediot.
Dengan demikian akal yang digunakan secara berlebihan atau terlalu lemah
merupakan pangkal timbulnya akhlak yang tercela.[6]
2. Amarah
Amarah yang digunakan secara adil akan menimbulkan sikap perwira,
demikian pula amarah yang digunakan terlalu berlebihan akan menimbulkan sikap
membabi buta atau hantam kromo, yaitu berani tanpa memperhitungkan kebaikan dan
keburukannya. Sebaliknya jika amarah digunakan terlalu lemah akan menibulkan
sikap pengecut. Dengan demikian penggunaan amarah secara berlebihan atau
berkurang sama-sama akan menimbulkan akhlak yang buruk. Berkenaan dengan ini di
dalam al-Qur’an dijumpai ayat yang menunjukkan akhlak yang baik yang
dihubungkan dengan sikap yang mampu menahan amarah. Allah berfirman :
tûïÏ%©!$# tbqà)ÏÿZム’Îû Ïä!#§Žœ£9$# Ïä!#§ŽœØ9$#ur tûüÏJÏà»x6ø9$#ur xáø‹tóø9$# tûüÏù$yèø9$#ur Ç`tã Ĩ$¨Y9$# 3
Artinya :
“(Orang-orang yang bertakwa yaitu) “Orang-orang yang menafkahkan
(hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan
amarahnya dan mema'afkan (kesalahan) orang lain”. (QS. Ali ‘Imran : 134).[7]
Pada ayat tersebut kemampuan menahan amarah dijadikan salah-satu sifat
orang yang bertakwa dan disebut bersamaan dengan akhlak yang terpuji lainnya,
yaitu menafkahkan sebagian hartanya, baik dalam keadaan lapang maupun dalam
keadaan sempit serta mau memaafkan kesalahan orang lain.[8]
Penggunaan amarah secara pertengahan itu sejalan pula dengan hadits nabi
yang berbunyi :
ﻟَﻴْﺲَ ﺍﻟﺸَّﺪِﻳْﺪُ ﺑِﺎﻟﺼُّﺮْﻋَﺔِ ﻭَﺇِﻧَّﻤَﺎ ﺍﻟﺸَّﺪِﻳْﺪُ ﺍﻟَّﺬِﻱْ ﻳَﻤْﻠِﻚُ ﻧَﻔْﺴَﻪُ ﻋِﻨْﺪَ ﺍﻟْﻐَﻀَﺐِ
Artinya :
“Orang yang gagah perkasa itu bukanlah orang yang kuat tenaganya, tetapi
orang yang gagah itu adalah orang yang dapat menahan amarahnya jika marah”.
(HR. Ahmad).
3. Nafsu syahwat
Nafsu syahwat yang digunakan
secara pertengahanlah yang akan menimbulkan sikap iffah, yaitu orang yang dapat menahan syahwat dan farjinya dari
berbuat lacur. Allah Swt. berfirman :
ô‰s% yxn=øùr& tbqãZÏB÷sßJø9$# tûïÏ%©!$# öNèd ’Îû öNÍkÍEŸx|¹ tbqãèϱ»yz tûïÏ%©!$#ur öNèd Ç`tã Èqøó¯=9$# šcqàÊÌ÷èãB tûïÏ%©!$#ur öNèd Ío4qx.¨“=Ï9 tbqè=Ïè»sù tûïÏ%©!$#ur öNèd öNÎgÅ_rãàÿÏ9 tbqÝàÏÿ»ym
Artinya :
“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang
yang khusyu' dalam sembahyangnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri dari
(perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna, dan orang-orang yang menunaikan
zakat, dan orang-orang yang menjaga kemaluannya”. (QS. Al-Mu’minun : 1-5).[9]
Di dalam juga dijumpai keterangan tentang orang yang akan mendapatkan
perlindungan di hari kiamat, di antaranya adalah seorang yang diajak berbuat
serong, namun ia dapat menjaga dirinya. Teks haditsnya berbunyi :
ﺭَﺟُﻞٌ ﺩَﺍﻋَﺘْﻪُ ﺇِﻣْﺮَﺃَﺓٌ ﺫَﺍﺕَ ﻣَﻨْﺼَﺐٍ ﻭَﺟَﻤَﺎﻝٍ ﻓَﻘَﺎﻝَ ﺇِﻧِّﻲْ ﺃَﺧَﺎﻑُ ﺍﷲَ ﺭَﺏَّ ﺍﻟْﻌَﺎﻟَﻤِﻴْﻦَ
Artinya :
“Seseorang yang diajak berbuat
serong oleh seorang wanita yang mempunyai kecantikan dan martabat, lalu ia
mengatakan bahwa aku takut kepada Allah yang menguasai sekalian alam”. (HR.
Bukhari).
Demikian pula nafsu syahwat
yang digunakan secara berlebihan akan menimbulkan sikap melacur, dan jika nafsu syahwat tersebut digunakan secara
lemah akan menimbulkan sikap tercela, yaitu tidak ada semangat untuk hidup.
Dengan demikian dari sikap pertengahan dalam menggunakan akal, amarah,
dan nafsu syahwat menimbulkan sikap bijaksana, perwira, dan dapat memelihara
diri. Dan dari tiga sikap inilah menimbulkan akhlak yang mulia.[10]
Dalam perkembangan selanjutnya teori pertengahan (adil) ini digunakan
pula untuk menjelaskan berbagai sifat Tuhan yang terkesan berlawanan. Diketahui
bahwa sifat-sifat Tuhan di samping ada yang menunjukkan kelembutan, juga ada
yang menunjukkan kekerasan. Sifat rahman (Maha Pengasih) dan sifat rahim
(Maha Penyayang) misalnya menunjukkan pada kelembutan Tuhan. Namun sifat jabbar
(Maha Memaksa), kohhar (Maha Mengalahkan) misalnya menunjukkan pada
kekerasan Tuhan. Sifat-sifat yang tampak saling kontradiktif ini dapat
dipertemukan melalui sikap pertengahan. Dengan demikian secara struktural
sifat-sifat Tuhan yang lainnya berada di bawah koordinasi sifat adil. Sifat jabbar
dan kohhar akan tetap positif apabila digunakan secara seimbang atau
digunakan sesuai dengan kadar dan tempatnya. Dengan demikian sifat adil atau
seimbang menjadi koordinator dari sifat-sifat lainnya.
Dalam hubungan ini orang misalnya dapat menerapkan sifat kohhar
dan jabbar pada anaknya, tetapi hal itu dilakukan dengan cukup
perhitungan dan dalam semangat kasih sayang. Demikian juga halnya Tuhan
terhadap manusia.
Penerapan sifat adil (pertengahan) Tuhan dalam hubungannya dengan akhlak
lebih lanjut dapat dijumpai dalam ajaran Muktazilah. Aliran teologi ini sebagai
dijelaskan Mahmud Shubhi lebih lanjut mengatakan:
“Muktazilah telah memberikan petunjuk dengan jelas, bahwa seluruh
perbuatan yang dilakukan Tuhan terhadap makhluk-Nya adalah dalam rangka
keadilan-Nya. Demikian pula manusia berhubungan dengan Tuhan melalui pengrmbangan
sikap adil yang dilakukannya. Manusia yang berbuat adil adalah manusia yang
meniru sifat Tuhan dan selalu dengan kepada-Nya”.
Teori pertengahan sebagai dikembangkan di atas memang tidak luput pula
dari kritik. Para peneliti bidang akhlak dalam hubungan ini mengatakan bahwa
teori tengah-tengah sebagaimana dikemukakan Aristoteles dan diikuti oleh Ibnu
Miskawaih dan para filosof akhlak lainnya tidak sepenuhnya dapat diterima.
Menurut para pengritik, bahwa keutamaan tidak selalu berada pada titik tengah.
Keutamaan sebenarnya berada pada titik yang jauhnya tidak sama dari dua sisi
keburukan. Para pengritik lebih lanjut memberi contoh, bahwa sikap dermawan
misalnya adalah lebih dekat kepada sikap boros dibandingkan pada sifat kikir.
Demikian pula sifat berani lebih dekat kepada sifat membabi buta dibandingkan
dengan sifat pengecut. Demikian seterusnya dengan sifat-sifat lainnya.
Para pengritik lebih lanjut mengatakan, banyak keutamaan yang tidak
kelihatan bahwa ia berada di tengah-tengah antara dua keburukan, seperti jujur
dan adil. Orang yang jujur misalnya tidak ada pertengahannya, karena tidak ada
posisi pada sifat jujur dan adil. Tidak ada sifat setengah jujur dan setengah
adil. Demikian juga dengan sifat benar, tidak ada setengah benar atau setengah
salah. Lawan dari benar hanyalah dusta. Antara benar dan dusta tidak ada
tengah-tengahnya. Demikian pula sifat adil tidak ada setengahnya atau setengah
adil. Jika disebut adil, maka lawannya hanya dzalim.
Terlepas dari kritik tersebut yang jelas bahwa teori pertengahan tidak
dapat menjelaskan seluruh contoh perbuatan akhlak yang baik atau yang buruk.
Teori pertengahan hanya terbatas pada akhlak yang dasarnya adalah bersumber pada
penggunaan potensi rohaniah: akal, amarah, dan nafsu syahwat yang digunakan secara
pertengahan.
Lalu bagaimanakah jika teori pertengahan yang merupakan sumber akhlak
tersebut dihubungkan dengan Al-Qur’an? Untuk menjawab ini perhatikanlah
ayat-ayat di bawah ini.
Hasil penelitian yang dilakukan Muhammad Fu’ad Abd al-Baqi menginformasikan
bahwa di dalam al-Qur’an kata adil disebut sebanyak 28 kali, di antaranya
adalah ayat-ayat yang berikut ini:
$pkš‰r'¯»tƒ ß`»|¡RM}$# $tB x8¡xî y7În/tÎ/ ÉOƒÌx6ø9$# “Ï%©!$# y7s)n=yz y71§q|¡sù y7s9y‰yèsù
Artinya:
“Hai manusia, Apakah yang telah
memperdayakan kamu (berbuat durhaka) terhadap Tuhanmu yang Maha Pemurah. yang
telah menciptakan kamu lalu menyempurnakan kejadianmu dan menjadikan (susunan
tubuh) mu seimbang”. (QS. Al-Infithar : 6-7).
(#qà)¨?$#ur $YBöqtƒ žw “Ì“øgrB ë§øÿtR `tã <§øÿ¯R $\«ø‹x© Ÿwur ã@t6ø)ム$pk÷]ÏB ×pyè»xÿx© Ÿwur ä‹s{÷sム$pk÷]ÏB ×Aô‰tã Ÿwur öNèd tbrã|ÁZãƒ
Artinya:
“Dan jagalah dirimu dari (azab) hari (kiamat, yang pada hari itu)
seseorang tidak dapat membela orang lain, walau sedikitpun; dan (begitu pula)
tidak diterima syafa'at dan tebusan dari padanya, dan tidaklah mereka akan
ditolong”. (QS. Al-Baqarah : 48).
* $pkš‰r'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãYtB#uä (#qçRqä. tûüÏBº§qs% ÅÝó¡É)ø9$$Î/ uä!#y‰pkà ¬! öqs9ur #’n?tã öNä3Å¡àÿRr& Írr& Èûøïy‰Ï9ºuqø9$# tûüÎ/tø%F{$#ur 4
bÎ) ïÆä3tƒ $†‹ÏYxî ÷rr& #ZŽÉ)sù ª!$$sù 4’n<÷rr& $yJÍkÍ5 (
Ÿxsù (#qãèÎ7Fs? #“uqolù;$# br& (#qä9ω÷ès? 4
bÎ)ur (#ÿ¼âqù=s? ÷rr& (#qàÊÌ÷èè? ¨bÎ*sù ©!$# tb%x. $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? #ZŽÎ6yz
Artinya:
“Wahai orang-orang yang beriman,
jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena
Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. jika ia
kaya ataupun miskin, Maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu
mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. dan jika kamu
memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, Maka Sesungguhnya Allah
adalah Maha mengetahui segala apa yang kamu kerjakan”. (QS. Al-Nisa : 135).
$yg•ƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sŒÎ) LäêZtƒ#y‰s? Aûøïy‰Î/ #’n<Î) 9@y_r& ‘wK|¡•B çnqç7çFò2$$sù 4
=çGõ3u‹ø9ur öNä3uZ÷/ 7=Ï?$Ÿ2 ÉAô‰yèø9$$Î/ 4
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman,
apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan,
hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara kamu
menuliskannya dengan benar”. (QS. Al-Baqarah : 282).
bÎ*sù tb%x. “Ï%©!$# Ïmø‹n=tã ‘,ysø9$# $·gŠÏÿy™ ÷rr& $¸ÿ‹Ïè|Ê ÷rr& Ÿw ßì‹ÏÜtGó¡o„ br& ¨@ÏJムuqèd ö@Î=ôJãŠù=sù ¼çm•‹Ï9ur ÉAô‰yèø9$$Î/ 4
Artinya:
“Jika yang berhutang itu orang
yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau Dia sendiri tidak mampu
mengimlakkan, Maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur”. (QS.
Al-Baqarah : 282).
Jika diperhatikan dengan seksama, tampak bahwa kata-kata adil dalam
al-Qur’an digunakan untuk berbagai peristiwa dan aktivitas kehidupan, yaitu
bahwa keadilan harus ditegakkan dalam rangka memutuskan perkara di pengadilan,
dalam rangka mencatat perjanjian, dalam pengangkatan seorang petugas pencatat
utang piutang dan sebagainya. Ini menunjukkan bahwa teori pertengahan sebagai
sumber timbulnya akhlak yang mulia tidak bertentangan dengan ajaran al-Qur’an
atau mendapat tempat di dalam al-Qur’an. Demikian pentingnya berbuat adil, maka
masalah keadilan menjadi hal yang harus ditegakkan oleh seluruh manusia. (Lihat
QS. Al-Nahl : 90). Jika adil tersebut dihubungkan dengan akhlak yang mulia,
maka perintah adil tersebut berarti perintah berakhlak mulia. Cara al-Qur’an
memang demikian ijaz (simpel) tapi maknanya cukup dalam, yakni disebut satu
bagian saja, tetapi yang dimaksudkan adalah menyangkut seluruh aspek kehidupan.
Inilah sebabnya barangkali mengapa para khatib Jum’at di akhir khutbahnya
selalu mengajak para jama’ah agar berlaku adil dan berbuat adil, sejalan dengan
firman Allah Swt. :
¨bÎ) ©!$# ããBù'tƒ ÉAô‰yèø9$$Î/ Ç`»|¡ômM}$#ur Ç›!$tGƒÎ)ur “ÏŒ 4†n1öà)ø9$# 4‘sS÷Ztƒur Ç`tã Ïä!$t±ósxÿø9$# Ìx6YßJø9$#ur ÄÓøöt7ø9$#ur 4 öNä3ÝàÏètƒ öNà6¯=yès9 šcrã©.x‹s?
Artinya:
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku
adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang
dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran
kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran”. (QS. Al-Nahl : 90).
Ayat
tersebut dengan jelas menyuruh kita berbuat adil yang disejajarkan dengan
berbuat baik kepada kerabat, menyuruh berbuat baik dan menjauhi perbuatan keji
dan munkar.
Namun
demikian untuk menunjuk pada contoh-contoh dalam bentuk perbuatan dalam
hubungannya dengan teori pertengahan, al-Qur’an tidak selamanya menggunakan
kata adil. Sikap pertengahan antara kikir dan boros misalnya, al-Qur’an
menggunakan kata qawaama seperti terlihat pada ayat yang berbunyi di
bawah ini:
tûïÏ%©!$#ur !#sŒÎ) (#qà)xÿRr& öNs9 (#qèùÌó¡ç„ öNs9ur (#rçŽäIø)tƒ tb%Ÿ2ur šú÷üt/ šÏ9ºsŒ $YB#uqs%
Artinya:
“Dan orang-orang yang apabila membelanjakan
(harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah
(pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian”. (QS. Al-Furqan :
67).
Selanjutnya
untuk sikap pertengahan (adil) dalam hal menimbang, al-Qur’an menggunakan kata al-qisthas
sebagaimana terlihat pada ayat yang berbunyi:
(#qèù÷rr&ur Ÿ@ø‹s3ø9$# #sŒÎ) ÷Läêù=Ï. (#qçRΗur Ĩ$sÜó¡É)ø9$$Î/ ËLìÉ)tFó¡ßJø9$# 4
Artinya:
“Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu
menakar, dan timbanglah dengan neraca yang benar”. (QS. Al-Isra’ : 35).
Dalam
pada itu ketika menggambarkan pertengahan (adil) yang berhubungan dengan
berinfak di jalan Allah, al-Qur’an menggambarkan perbuatan tersebut antara
terlalu kikir dan terlalu longgar (tanpa kontrol). Hal ini terlihat dalam ayat
yang berbunyi:
Ÿwur ö@yèøgrB x8y‰tƒ »'s!qè=øótB 4’n<Î) y7É)ãZãã Ÿwur $ygôÜÝ¡ö6s? ¨@ä. ÅÝó¡t6ø9$# y‰ãèø)tFsù $YBqè=tB #·‘qÝ¡øt¤C
Artinya:
“Dan janganlah kamu jadikan tanganmu
terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya, karena itu
kamu menjadi tercela dan menyesal”. (QS. Al-Isra’ : 29).
Dalam
hal pengaturan volume suara yang pertengahan dalam berdoa, al-Qur’an
menempatkannya antara tadharru’, khifah dengan al-jahr,
sebagai terlihat pada ayat yang berbunyi:
ä.øŒ$#ur š/§‘ ’Îû šÅ¡øÿtR %Yæ•Ž|Øn@ Zpxÿ‹Åzur tbrߊur Ìôgyfø9$# z`ÏB ÉAöqs)ø9$#
Artinya:
“Dan sebutlah (nama) Tuhannmu dalam hatimu
dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara”.
(QS. Al-‘Araf : 205).
Selanjutnya
di dalam hadits dijumpai kata haunamma yang digunakan untuk menggambarkan
sikap pertengahan dalam mencintai atau membenci seseorang. Hal ini misalnya
dapat dilihat pada hadits yang berbunyi:
أَحْبِبْ حَبِيْبَكَ هَوْنًامًّا عَسَى أَنْ
يَكُوْنَ بَغِيْضَكَ يَوْمًامًّا وَ أَبْغِضْ بَغِيْضَكَ هَوْنًامًّا عَسَى أَنْ يَكُوْنَ
حَبِيْبَكَ يَوْمًامًّا
Artinya:
“Cintailah kekasihmu dengan sikap pertengahan,
karena boleh jadi orang yang engkau cintai itu menjadi musuhmu di kemudian hari.
Dan bencilah musuhmu dengan sikap pertengahan, karena boleh jadi orang yang
engkau musuhi itu menjadi kekasihmu di kemudian hari. (HR. Turmudzi).
Dalam
itu untuk menunjukkan pada sikap pertengahan (adil) dalam memutuskan perkara,
al-Qur’an menggunakan kata al-adl, sebagaimana terlihat pada ayat yang
berbunyi:
#sŒÎ)ur OçFôJs3ym tû÷üt/ Ĩ$¨Z9$# br& (#qßJä3øtrB ÉAô‰yèø9$$Î/ 4
Artinya:
“Apabila kamu menetapkan hukum di antara
manusia supaya kamu menetapkan dengan adil”. (QS. Al-Nisa : 58).
Selanjutnya
terdapat pula kata ‘awaanun yang digunakan al-Qur’an untuk menggambarkan
keadaan pertengahan atau yang ideal terhadap binatang semacam sapi. Sebagaimana
hal ini terlihat pada ayat yang berbunyi:
$pk¨XÎ) ×ots)t/ žw ÖÚÍ‘$sù Ÿwur íõ3Î/ 8b#uqtã šú÷üt/ y7Ï9ºsŒ (
Artinya:
“Bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang
tidak tua dan tidak muda; pertengahan antara itu”. (QS. Al-Baqarah : 68).
Selanjutnya
al-Qur’an juga menggunakan kata al-kadzimin untuk menggambarkan sikap
antara menyalurkan emosi dan menahannya. Hal ini sejalan dengan ayat yang
berbunyi sebagai berikut:
tûïÏ%©!$# tbqà)ÏÿZム’Îû Ïä!#§Žœ£9$# Ïä!#§ŽœØ9$#ur tûüÏJÏà»x6ø9$#ur xáø‹tóø9$#
Artinya:
“(Yaitu) orang-orang yang menafkahkan
(hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan
amarahnya”. (QS. Ali Imran : 134).
Berdasarkan
contoh tersebut di atas, dapat dikatakan bahwa dalam menggambarkan keadaan yang
adil atau pertengahan, al-Qur’an jauh lebih lengkap, mendetail, dan
komprehensif dibandingkan yang diberikan para filosof lainnya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Akhlak secara garis besar dapat dibagi dua bagian, yaitu akhlak yang baik
(al-akhlaq al-hasanah), dan akhlak
yang buruk (al-akhlaq al-sayyiah).
Secara teoritis macam-macam akhlak tersebut berinduk kepada tiga
perbuatan yang utama, yaitu hikmah
(bijaksana), syaja’ah (pewira atau
kesatria), dan iffah (menjaga diri
dari perbutan dosa dan maksiat). Ketiga macam induk akhlak ini muncul dari
sikap adil, yaitu sikap pertengahan atau seimbang dalam mempergunakan ketiga
potensi rohaniah yang terdapat dalam diri manusia, yaitu ‘aql (pemikiran) yang berpusat di kepala, ghadab (amarah) yang berpusat di dada, dan nafsu syahwat (dorongan seksual) yang berpusat di perut.
Oleh karena itu, dari sikap pertengahan dalam menggunakan akal, amarah,
dan nafsu syahwat akan menimbulkan sikap bijaksana, perwira, dan dapat
memelihara diri. Dan dari tiga sikap inilah menimbulkan akhlak yang mulia.
Al-Ghazali, Imam, Ihya ‘Ulum al-Din, jilid III, (Teheran: Dar al-Kutub al-Islamiyyah,
t.th.
Departemen Agama RI, Al-Qu’ran Al-Karim wa Tarjamah Ma’anih ila Al-Lughah Al-Indunisiyyah, Jakarta: PT. Arga
Publising, 2008.
Nata, Abuddin, Akhlak
Tasawuf, Jakarta:
Rajawali Pers, 2010, Cet. ke-9.
[1]
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Rajawali Pers,
2010, Cet. ke-9), hlm. 43-44. Lihat juga ; Imam al-Ghazali, Ihya ‘Ulum al-Din, jilid III, (Teheran:
Dar al-Kutub al-Islamiyyah, t.th.), hlm. 53.
[2] Departemen
Agama RI, Al-Qu’ran Al-Karim wa Tarjamah
Ma’anih ila Al-Lughah Al-Indunisiyyah, (Jakarta: PT. Arga Publising, 2008), hlm. 136.
[3] Ibid, hlm. 108.
[4] Ibid, hlm. 361.
[5]
Abuddin Nata, Op.cit., hlm. 44-45.
[6] Ibid, hlm. 45.
[7] Departemen
Agama RI, Op.cit., hlm. 81.
[8]
Abuddin Nata, Op.cit., hlm. 45-46.
[9] Departemen
Agama RI, Op.cit., hlm. 455.
[10]
Abuddin Nata, Op.cit., hlm. 46-45.
No comments:
Post a Comment