A. Pengertian Kaidah Ushuliyah
Menurut M. Hasbi ash-Shiddiqi, yang dikutip oleh Drs. H. Muchlis Usman,
M.A., kaidah-kaidah ushuliyah disebut juga kaidah-kaidah istinbathiyah, yaitu
kaidah-kaidah yang berkaitan dengan metode uslub-uslub maupun tarkibnya. Kaidah
istinbathiyah banyak berkaitan dengan amar, nahyu, ‘amm, khash, muthlaq,
musytarak, muqayyad, mujmal, mufasshal.[1]
Menurut Prof. Dr. Juhaya S. Praja, di dalam bukunya Ilmu Ushul Fiqih,
menyatakan bahwa kaidah ushuliyah adalah sejumlah peraturan untuk menggali
hukum.[2]
B. ‘Amm
1. Pengertian Lafazh ‘Amm
Lafazh ‘amm ialah suatu lafazh yang menunjukkan satu makna yang mencakup seluruh satuan
yang tidak terbatas dalam jumlah tertentu.[3]
2. Macam-macam Lafazh ‘Amm
Penelitian terhadap kata-kata dan susunan kalimat dalam bahasa Arab
menunjukkan bahwasanya lafazh-lafazh yang berdasarkan penetapan
kebahasaanya menunjukkan terhadap keumuman dan penghabisan seluruh
satuan-satuannya ialah sebagai berikut:[4]
a. Lafazh kullu (tiap-tiap) dan lafazh jami’ (semua)
‘@ä. <§øÿtR èps)ͬ!#sŒ ÏNöqpRùQ$# ÇÊÑÎÈ
uqèd “Ï%©!$# šYn=y{ Nä3s9 $¨B ’Îû ÇÚö‘F{$# $YèŠÏJy_ ÇËÒÈ
b. Lafazh mufrad (kata
benda tunggal) yang dimakrifatkan dengan alif lam (ﺍﻝ) untuk memakrifatkan jenis.
èpu‹ÏR#¨“9$# ’ÎT#¨“9$#ur ÇËÈ
c. Bentuk jama’ yang
dimakrifatkan dengan alif lam penta’rifan jenis.
àM»s)¯=sÜßJø9$#ur šÆóÁ/uŽtItƒ £`ÎgÅ¡àÿRr'Î/ spsW»n=rO &äÿrãè% 4 ÇËËÑÈ
d. Isim maushulah.
tûïÏ%©!$#ur tbqãBötƒ ÏM»oY|ÁósßJø9$# ÇÍÈ
e. Isim syarat
`tBur Ÿ@tFs% $·YÏB÷sãB $\«sÜyz ãƒÌóstGsù 7pt7s%u‘ 7poYÏB÷s•B ãƒÌóstGsù 7pt6s%u‘ 7poYÏB÷s•B ÇÒËÈ
f. Isim
nakirah pada bentuk naïf (peniadaan)
artinya isim nakirah yang ditiadakan.
(#qà)¨?$#ur $YBöqtƒ žw “Ì“øgrB ë§øÿtR `tã <§øÿ¯R $\«ø‹x© ÇÍÑÈ
C. Khash
1. Pengertian Lafazh Khash
Para ulama ushul berbeda pendapat dalam memberikan definisi khash. Namun, pada hakikatnya definisi
tersebut mempunyai pengertian yang sama. Definisi yang dapat dikemukakan di
sini, antara lain:
ﻫﻭ ﺍﻟﻟﻓﻅ ﺍﻟﻣﻭﺿﻭﻉ ﻟﻣﻌﻧﻰ ﻭﺍﺤﺩ ﻣﻌﻟﻭﻡ ﻋﻟﻰ ﺍﻹﻧﻓﺭﺍﺩ
Artinya:
“Suatu lafazh yang dipasangkan pada satu arti
yang sudah diketahui (ma’lum) dan menunggal. ”[5]
2. Hukum Lafazh Khash
Lafazh yang terdapat
pada nash syara’ menunjukkan satu
makna tertentu dengan pasti selama tidak ada dalil yang mengubah maknanya itu.
dengan demikian, apabila ada suatu kemungkinan arti lain yang tidak berdasar
pada dalil, maka ke-qath’ian
dilalah-nya tidak terpengaruhi.
Oleh karena itu, apabila lafazh khash dikemukakan dalam bentuk mutlaq, tanpa batasan apapun, maka lafazh itu memberi faedah ketetapan
hukum secara mutlaq, selama tidak ada
dalil yang membatasinya. Dan bila lafazh
itu dikemukakan dalam bentuk perintah, maka ia memberikan faedah berupa hukum
wajib bagi yang diperintahkan, selama tidak ada dalil yang memalingkannya pada
makna yang lain. demikian juga apabila lafazh
itu dikemukakan dalam bentuk larangan, ia memberikan faedah berupa hukum haram
terhadap hal yang dilarang itu, selama tidak ada qarinah (indikasi) yang memalingkan dari hal itu.[6]
3. Macam-macam Lafazh Khash
Lafazh khash itu
bentuknya banyak, sesuai dengan keadaan dan sifat yang dipakai pada lafazh
itu sendiri. Ia kadang-kadang berbentuk mutlaq
tanpa dibatasi oleh suatu syarat atau qayyid
apapun, kadang-kadang berbentuk muqayyad,
yakni dibatasi oleh qayyid,
kadang-kadang berbentuk amr, dan
kadang-kadang berbentuk nahyi.
D. Amar
1. Pengertian Lafazh Amar
Menurut jumhur ulama Ushul,
definisi amar adalah lafazh yang menunjukkan tuntutan dari
atasan kepada bawahannya untuk mengerjakan suatu pekerjaan.[8]
2. Hukum Lafazh Amar
Menurut Dr. Muhammad Zakariya al-Bardisy, yang dikutip oleh H. Ahmad Abd.
Madjid, M.A. di dalam bukunya Ushul Fiqih, “Jumhur
sepakat menyatakan bahwa amar menunjukkan atas wajibnya suatu tuntutan yang
secara muthlaq selama tidak ada qarinah (hubungan sesuatu) dari pada ketentuan
amar tersebut”. Juga berdasarkan kaidah:
ﺍﻷﺼﻞ ﻓﻰ ﺍﻷﻣﺭﺍﻟﻭﺟﻭﺏ
Artinya: “Arti pokok dalam amar
ialah menunjukkan wajib (wajibnya perbuatan yang diperintahkan)”.
Contoh, firman Allah Swt.:
øŒÎ)ur $oYù=è% Ïps3Í´¯»n=uKù=Ï9
(#r߉àfó™$# tPyŠKy
(#ÿr߉yf|¡sù
HwÎ)
}§ŠÎ=ö/Î) ÇÌÍÈ
Artinya:
“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada Para Malaikat: “Sujudlah
kamu kepada Adam,” Maka sujudlah mereka kecuali Iblis”.
Dan juga amar menunjukkan atasnya anjuran (nadab), berdasarkan kaidah:
ﺍﻷﺼﻞ ﻓﻰ ﺍﻷﻣﺭﺍﻟﻨﺩﺏ
Artinya: “Arti pokok dalam amar ialah menunjukkan anjuran
(nadab)”.
Suruhan itu memang adakalanya untuk suruhan (wajib) seperti sembahyang lima waktu, ada kalanya
untuk anjuran seperti sembahyang dhuha.
Antara kemestian dan anjuran yang paling diyakini adalah anjuran.
Kesimpulannya, amar tetap
mengandung arti wajib, kecuali apabila amar
tadi sudah tidak mutlaq lagi, lagi
pula terdapat qarinah yang dapat
merubah ketentuan tersebut, maka amar
itu berubah pula, yakni tidak menunjukkan wajib, tetapi menjadi bentuk yang
menunjukkan kepada hukum sunnat atau mubah dan lain sebagainya sesuai dengan qarinah yang mempengaruhinya.[9]
3. Macam-macam Lafazh Amar
a. Berbentuk fi’il
amar (perintah langsung)
(#qßJŠÏ%r&ur no4qn=¢Á9$# (#qè?#uäur no4qx.¨“9$# (#qãèx.ö‘$#ur yìtB tûüÏèÏ.º§9$# ÇÍÌÈ
b. Berbentuk fi’il
mudhari’ yang didahului oleh lam amar
(#qèù§q©Üu‹ø9ur ÏMøŠt7ø9$$Î/ È,ŠÏFyèø9$# ÇËÒÈ
c. Dan lain-lain sebagainya yang semakna seperti lafazh faradha, kutiba, dsb.
E. Nahyu
1. Pengertian Lafazh Nahyu
Menurut ulama ushul, definisi nahyu adalah kebalikan dari amar yakni lafazh yang menunjukkan tuntutan untuk meninggalkan sesuatu
(tuntutan yang mesti dikerjakan) dari atasan kepada bawahan.[10]
2. Hukum Lafazh Nahyu
Seperti yang disebutkan dalam
kaidah:
ﺍﻷﺼﻞ ﻓﻰ ﺍﻟﻨﻬﻲ ﺍﻟﺗﺣﺭﻳﻡ
Artinya: “Bermula larangan itu menunjukkan haram
(haramnya pebuatan yang dilarang)”.
Kecuali apabila ada qarinah
yang mempengaruhinya, maka nahi tadi
tidak lagi menunjukkan hukum haram, tetapi menunjukkan hukum makruh, mubah, dan
sebagainya, sesuai dengan qarinah
yang mempengaruhinya itu.[11]
Bentuk nahi itu hanya satu
yaitu, fi’il mudhari yang diserta nahi:
Ÿw (#qç/tø)s? no4qn=¢Á9$# óOçFRr&ur 3“t»s3ß™ ÇÍÌÈ
F. Muthlaq dan Muqayyad
1. Pengertian Lafazh Muthlaq
Yang di maksud dengan muthlaq
adalah suatu lafazh yang menunjukkan
hakikat sesuatu tanpa pembatasan yang dapat mempersempit keluasan artinya.[12]
Contoh:
ãƒÌóstGsù 7pt7s%u‘ ÇÌÈ
2. Pengertian Lafazh Muqayyad
Yang di maksud dengan muqayyad
ialah suatu lafazh yang menunjukkan hakikat
sesuatu yang yang dibatasi dengan suatu pembatasan yang mempersempit keluasan
artinya.[13]
Contoh:
ãƒÌóstGsù 7pt7s%u‘ 7poYÏB÷s•B ÇÒËÈ
3. Hukum Lafazh Muthlaq dan Muqayyad
Pada prinsipnya para ulama sepakat bahwa hukum lafazh muthlaq itu wajib diamalkan ke-muthlaq-annya, selama tidak ada dalil yang membatasi ke-mutlaq-annya. Begitu juga hukum lafazh muqayyad itu berlaku kepada ke-muqayyad-annya. Yang menjadi
persoalannya di sini adalah muthlaq
dan muqayyad ada yang disepakati dan
diperselisihkan.[14]
Yang disepakati:
a. Hukum dan sebabnya sama.
b. Hukum dan sebabnya berbeda.
c. Hukumnya berbeda sedangkan sebabnya sama.
Yang diperselisihkan:
a. Ke-muthlaq-an dan ke-muqayyad-an
terdapat pada sebab hukum.
b. Muthlaq
dan muqayyad terdapat pada nash yang
sama hukumnya, namun sebabnya berbeda.
G. Musytarak
1. Pengertian Lafazh Musytarak
Lafazh musytarak ialah lafazh
yang diletakkan untuk dua makna atau lebih dengan peletakan yang
bermacam-macam, dimana lafazh itu
menunjukkan makna yang ditetapkan secara bergantian, artinya lafazh itu menunjukkan makna ini atau
makna itu.[15]
2. Contoh Lafazh Musytarak
Misalnya kata yad (tangan)
dalam firman Allah Swt.:
ä-Í‘$¡¡9$#ur èps%Í‘$¡¡9$#ur (#þqãèsÜø%$$sù $yJßgtƒÏ‰÷ƒr& ÇÌÑÈ
Artinya: “Laki-laki
yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya…”.
Kata tersebut adalah musytarak antara dzira’ (dari ujung jari hingga
bahu), antara telapak tangan dan lengan (dari ujung jari sampai dengan siku),
dan telapak tangan (dari ujung jari sampai pergelangan tangan) dan antara
tangan kiri dan kanan. Jumhur mujtahid beristidlal dengan sunnah amaliyyah
untuk menentukan yang dimaksud dengan tangan pada ayat itu, yaitu makna yang
terakhir, yakni dari ujung jari sampai dengan dua pergelangan pada tangan
kanan.[16]
[1]
Muchlis Usman, Kaidah-kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, Cet.
Ke-4, 2002), hlm. 15.
[2]
Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: CV. Pustaka Setia, Cet.
Ke-1, 1998), hlm. 147.
[3] Ibid,
hlm. 193.
[4]
Abdul Wahhab Khallaf, Ilm Ushul Fiqh,
terjemahan Moh. Zuhri dan Ahmad Qarib: Ilmu
Ushul Fiqh, (Semarang: Dina Utama, Cet. Ke-1, 1994), hlm. 279-282.
[5]
Rachmat Syafe’i, Op.cit., hlm. 187.
[6] Ibid., hlm. 187-188.
[7] Ibid., hlm. 192.
[8] Ibid., hlm. 200.
[9]
Ahmad Abd. Madjid, Ushul Fiqih,
(Pasuruan: PT. Garoeda Buana Indah, Cet. ke-4, 1994), hlm. 180-182.
[10]
Rachmat Syafe’i, Op.cit., hlm. 207.
[11]
Ahmad Abd. Madjid, Op.cit., hlm.
194-195.
[12]
Rachmat Syafe’i, Op.cit., hlm. 212.
[13] Ibid.
[14] Ibid., hlm. 213.
[15]
Abdul Wahhab Khallaf, Ilm Ushul Fiqh,
terjemahan Moh. Zuhri dan Ahmad Qarib, Op.cit.,
hlm. 273.
[16] Ibid., hlm. 275.
No comments:
Post a Comment