a. Dasar Taklif
Dalam Islam, orang yang terkena taklif adalah mereka yang sudah dianggap mampu untuk mengerjakan
tindakan hukum. Tak heran kalau sebagian besar ulama ushul fiqih berpendapat bahwa dasar pembebanan hukum bagi seorang mukallaf adalah akal dan pemahaman.
Dengan kata lain, seseorang baru bisa dibebani hukum apabila ia berakal dan
dapat memahami secara baik taklif yang
ditujukan kepadanya. Maka orang yang tidak atau belum berakal dianggap tidak
bisa memahami taklif dari Syari’ (Allah dan Rasul-Nya). Termasuk
ke dalam golongan ini, adalah orang dalam keadaan tidur, mabuk, dan lupa,
karena dalam keadaan tidak sadar (hilang akal). Sebagaimana sabda Rasulullah
Saw. :
ﺭُﻓِﻊَ ﺍﻟْﻘَﻠَﻢُ ﻋَﻦْ ﺛَﻼَﺙٍ ﻋَﻦِ ﺍﻟﻨَّﺎﺋِﻢِ ﺣَﺘَّﻰ ﻳَﺴْﺘَﻴْﻘِﻆَ ﻭَﻋَﻦِ ﺍﻟﺼَّﺒِﻲِّﺣَﺘَّﻰ ﻳَﺤْﺘَﻠِﻢَ ﻭَﻋَﻦِﺍﻟْﻤَﺠْﻨُﻮْﻥِ ﺣَﺘَّﻰ ﻳَﻔِﻳْﻖَ
Artinya:
“Diangkat
pembebanan hukum dari tiga (jenis orang); orang tidur sampai ia bangun, anak
kecil sampai ia baligh, dan orang gila sampai ia sembuh”. (HR. Bukhari, Tirmidzi,
Nasai, Ibnu Majah dan Daru Quthni dari Aisyah dan Ali Ibnu Abi Thalib)
Rasulullah Saw. pun menegaskan dalam hadits lainnya:
ﺭُﻓِﻊَ ﺃُﻣَّﺘِﻲْﻋَﻦِ ﺍﻟْﺨَﻂَﺎﺀِ ﻭَﺍﻟﻨِّﺴْﻴَﺎﻥِ ﻭَﻣَﺎﺍﺳْﺘَﻜْﺮَﻩَ ﻟَﻪُ
Artinya:
“Umatku tidak
dibebani hukum apabila mereka terlupa, tersalah, dan dalam keadaan terpaksa”.
(HR. Ibnu Majah dan Thabrani)
Dengan demikian, jelaslah bahwa taklif hanya diperuntukkan bagi orang yang dianggap cakap dan mampu
untuk melakukan tindakan hukum.
b. Syarat-syarat Taklif
Ulama ushul fiqih telah bersepakat bahwa seorang mukallaf bisa dikenai taklif apabila telah memenuhi dua
syarat, yaitu :
1.
Orang itu telah mampu memahami khithab syar’i
(tuntutan syara’) yang terkandung dalam al-Quran dan Sunnah, baik secara
langsung maupun melalui orang lain.
2.
Seseorang harus mampu dalam bertindak hukum, dalam
ushul fiqih disebut juga ahliyyah.
Referensi:
- · Syafe’i, Rachmat, Ilmu Ushul Fiqih, Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999, Cet. ke-I.
No comments:
Post a Comment