PEMBAHASAN
A. Ta’rif Jarh dan Ta’dil
Jarh menurut pengertian etimologi ialah melukai tubuh ataupun yang lain
dengan menggunakan benda tajam, pisau, pedang, dan sebagainya. Luka yang
disebabkan kena pisau dan sebagainya dinamakan jurh. Dan diartikan pula jarh
dengan memaki dan menistai, baik di muka ataupun di belakang. Sedangkan menurut
pengertian terminologi jarh ialah:
ذِكْرُ مَا يُعَابُ بِهِ الرَّاوِيْ
“Menyebut sesuatu yang
mengakibatkan tercacatlah si perawi (menampakkan keaiban yang menolak
riwayat)”.
Ta’dil menurut pengertian etimologi ialah menyamaratakan, mengimbangi sesuatu
dengan yang lain dan menegakkan keadilan atau berlaku adil. Sedangkan menurut
pengertian terminology ta’dil ialah:
وَصْفُ الرَّاوِيْ بِصِفَاتٍ تُوْجِبُ
عَدَالَتَهُ الَّتِيْ هِيَ مَدَارُ الْقَبُوْلِ لِرِوَايَتِهِ
“Mensifatkan si perawi dengan sifat-sifat yang dipandang orang tersebut
adil, yang menjadi puncak penerimaan riwayatnya”.
Merupakan kesaksian bahwa perawi itu adil dapat diterima riwayatnya.
Hukumnya sama dengan hukum kesaksian, yaitu harus dilakukan oleh orang yang
mempunyai ilmu yang diterima perkataannya dalam bidang hadits.[1]
B.
Macam-macam Kaidah Jarh dan
Ta’dil
Kaidah-kaidah jarh dan ta’dil ada dua macam:[2]
- Bersandar kepada cara-cara periwayatan hadits, shah periwayatan, keadaan perawi, dan kadar kepercayaan kepada mereka. Disebut pula naqdun kharijiyun, yaitu kritik yang datang dari luar hadits (kritik yang tidak mengenai diri hadits).
- Berpautan dengan hadits sendiri, apakah maknanya shahih atau tidak dan apa jalan-jalan keshahihannya dan ketiadaan keshahihannya. Disebut pula naqdun dakhiliyun, yaitu kritik dari dalam hadits.
Tiadalah diterima suatu
pencacatan, melainkan dengan adanya sesuatu yang benar-benar cacat. Ibnu Hajar
dalam muqaddimah Fathul Bari, berkata “Tiadalah diterima pencacatan
terhadap seseorang terkecuali terdapat sesuatu yang terang mencacatkan, karena
sebab-sebab mencacatkan seseorang berbeda-beda. Dan semuanya berkisar disekitar
lima hal, yaitu: bid’ah, menyalahi orang lain, kesilapan, tidak diketahui
keadaan si perawi, ada tuduhan bahwa sanadnya munqathi’ (bahwa perawi itu
mentadlis atau mengirsal).[3]
C. Syarat Menerima
Penta’dilan dan Pentarjihan
Disyaratkan kepada mu’addil
dan para jarih, harus berilmu, taqwa, wara’, jauh dari ta’ashshub
dan mengetahui sebab-sebab jarh dan sebab-sebab tazkiyah atau ta’dil. Orang
yang tidak demikian keadaannya, tidaklah dapat diterima tazkiyah dan jarahnya.
Dalam kitab Thawatihurahmut
syarah Musallamuts Tsubut diterangkan bahwa muzakki (orang yang
menyatakan ke’adilan seseorang) harus seorang yang adil lagi mengetahui
sebab-sebab jarh dan ta’dil, insyaf lagi jujur, bukan muta’ashshib (‘ujub
kepada diri sendiri). Orang yang muta’ashshib tidak didengar
perkataannya.
Ad-Daraquthny pernah mencela
Abu Hanifah, mengatakan seorang dha’if. Abu Hanifah seorang imam yang wara’
lagi taqwa, maka dari mana datang kelemahannya?
Dalam Tanwirush Shahifah,
diterangkan bahwa kita tidak boleh terkecoh dengan perkataan al-Khatib, karena
beliau itu sangat anti kepada beberapa ulama, yaitu Abu Hanifah, Ahmad Dan
sahabat-sahabatnya, al-Khatib mencela mereka itu. Oleh karenanya kita rasakan
bahwa pencelaan itu dilakukan lantaran ta’ashshub dan ada qarinah
untuk itu.[4]
D.
Jarh dan Ta’dil yang Diterima
dan yang Ditolak
Jarh dan ta’dil adakala mubham, adakala mufassar. Yang mubham,
ialah yang tidak diterangkan sebab, baik mengenai jarh maupun ta’dil, sedangkan
yang mufassar, ialah yang diterangkan sebab.
Para ulama berbeda pendapat tentang penerimaan jarh yang mubham
dan ta’dil yang mubham atas beberapa pendapat:[5]
1.
Diterima ta’dil yang tidak disebut
sebab, karena sebab ta’dil banyak, maka tidak perlu disebut satu per satu.
Mengenai jarh tidak dapat diterima, kecuali yang diterangkan sebabnya, karena
jarh ini cukup disebut satu saja, dan karena ada yang memberi nilai jarh
sesuatu yang menurut kepercayaannya, jarh, padahal bukan. Lantaran itu perlu
diterangkan sebab supaya teranglah bahwa sebab yang dikemukakan itu memang
suatu jarh, atau bukan.
2.
Kebalikan dari yang pertama, yaitu
wajib diterangkan sebab-sebab keadilan tidak wajib diterangkan cacat karena
orang banyak berpura-pura shalih, maka perlu diterangkan keadaan yang
sebenarnya.
3.
Harus diterangkan sebab jarh dan
sebab keadilan.
4.
Tidak wajib diterangkan
sebab-sebabnya, jika yang mencela dan yang memuji, orang yang mengetahui
benar-benar sebab pencelaan dan sebab pujian itu.
KESIMPULAN
Ilmu al-jarh wa at-ta’dil
adalah ilmu yang membahas tentang menyebut sesuatu yang mengakibatkan
tercacatlah si perawi (menampakkan keaiban yang menolak riwayat) dan
mensifatkan si perawi dengan sifat-sifat yang dipandang orang tersebut adil,
yang menjadi puncak penerimaan riwayatnya.
Disyaratkan kepada mu’addil
dan para jarih, harus berilmu, taqwa, wara’, jauh dari ta’ashshub
dan mengetahui sebab-sebab jarh dan sebab-sebab tazkiyah atau ta’dil. Orang
yang tidak demikian keadaannya, tidaklah dapat diterima tazkiyah dan jarahnya.
Dalam kitab Thawatihurahmut
syarah Musallamuts Tsubut diterangkan bahwa muzakki (orang yang
menyatakan ke’adilan seseorang) harus seorang yang adil lagi mengetahui
sebab-sebab jarh dan ta’dil, insyaf lagi jujur, bukan muta’ashshib (‘ujub
kepada diri sendiri). Orang yang muta’ashshib tidak didengar
perkataannya.
DAFTAR PUSTAKA
Ash-Shiddieqy, Muhammad Hasbi, Sejarah &
Pengantar Ilmu Hadits, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1999, Cet. Ke-IV.
[1]
Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah & Pengantar Ilmu Hadits,
(Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1999), hlm. 326-327.
[2] Ibid.,
hlm. 327.
[3] Muhammad
Hasbi Ash-Shiddieqy, Loc.Cit.
[4] Ibid.,
hlm. 331-332.
[5]
Ibid., hlm. 332-333.
No comments:
Post a Comment