Sunday 5 May 2013

ILMU AL-JARH WA AT-TA’DIL



BAB II
PEMBAHASAN





A.    Ta’rif Jarh dan Ta’dil
Jarh menurut pengertian etimologi ialah melukai tubuh ataupun yang lain dengan menggunakan benda tajam, pisau, pedang, dan sebagainya. Luka yang disebabkan kena pisau dan sebagainya dinamakan jurh. Dan diartikan pula jarh dengan memaki dan menistai, baik di muka ataupun di belakang. Sedangkan menurut pengertian terminologi jarh ialah:
ذِكْرُ مَا يُعَابُ بِهِ الرَّاوِيْ
“Menyebut sesuatu yang mengakibatkan tercacatlah si perawi (menampakkan keaiban yang menolak riwayat)”.
Ta’dil menurut pengertian etimologi ialah menyamaratakan, mengimbangi sesuatu dengan yang lain dan menegakkan keadilan atau berlaku adil. Sedangkan menurut pengertian terminology ta’dil ialah:
وَصْفُ الرَّاوِيْ بِصِفَاتٍ تُوْجِبُ عَدَالَتَهُ الَّتِيْ هِيَ مَدَارُ الْقَبُوْلِ لِرِوَايَتِهِ
“Mensifatkan si perawi dengan sifat-sifat yang dipandang orang tersebut adil, yang menjadi puncak penerimaan riwayatnya”.
Merupakan kesaksian bahwa perawi itu adil dapat diterima riwayatnya. Hukumnya sama dengan hukum kesaksian, yaitu harus dilakukan oleh orang yang mempunyai ilmu yang diterima perkataannya dalam bidang hadits.[1]

B.     Macam-macam Kaidah Jarh dan Ta’dil
Kaidah-kaidah jarh dan ta’dil ada dua macam:[2]
  1. Bersandar kepada cara-cara periwayatan hadits, shah periwayatan, keadaan perawi, dan kadar kepercayaan kepada mereka. Disebut pula naqdun kharijiyun, yaitu kritik yang datang dari luar hadits (kritik yang tidak mengenai diri hadits).
  2. Berpautan dengan hadits sendiri, apakah maknanya shahih atau tidak dan apa jalan-jalan keshahihannya dan ketiadaan keshahihannya. Disebut pula naqdun dakhiliyun, yaitu kritik dari dalam hadits.
Tiadalah diterima suatu pencacatan, melainkan dengan adanya sesuatu yang benar-benar cacat. Ibnu Hajar dalam muqaddimah Fathul Bari, berkata “Tiadalah diterima pencacatan terhadap seseorang terkecuali terdapat sesuatu yang terang mencacatkan, karena sebab-sebab mencacatkan seseorang berbeda-beda. Dan semuanya berkisar disekitar lima hal, yaitu: bid’ah, menyalahi orang lain, kesilapan, tidak diketahui keadaan si perawi, ada tuduhan bahwa sanadnya munqathi’ (bahwa perawi itu mentadlis atau mengirsal).[3]

C.    Syarat Menerima Penta’dilan dan Pentarjihan
Disyaratkan kepada mu’addil dan para jarih, harus berilmu, taqwa, wara’, jauh dari ta’ashshub dan mengetahui sebab-sebab jarh dan sebab-sebab tazkiyah atau ta’dil. Orang yang tidak demikian keadaannya, tidaklah dapat diterima tazkiyah dan jarahnya.
Dalam kitab Thawatihurahmut syarah Musallamuts Tsubut diterangkan bahwa muzakki (orang yang menyatakan ke’adilan seseorang) harus seorang yang adil lagi mengetahui sebab-sebab jarh dan ta’dil, insyaf lagi jujur, bukan muta’ashshib (‘ujub kepada diri sendiri). Orang yang muta’ashshib tidak didengar perkataannya.
Ad-Daraquthny pernah mencela Abu Hanifah, mengatakan seorang dha’if. Abu Hanifah seorang imam yang wara’ lagi taqwa, maka dari mana datang kelemahannya?
Dalam Tanwirush Shahifah, diterangkan bahwa kita tidak boleh terkecoh dengan perkataan al-Khatib, karena beliau itu sangat anti kepada beberapa ulama, yaitu Abu Hanifah, Ahmad Dan sahabat-sahabatnya, al-Khatib mencela mereka itu. Oleh karenanya kita rasakan bahwa pencelaan itu dilakukan lantaran ta’ashshub dan ada qarinah untuk itu.[4]

D.    Jarh dan Ta’dil yang Diterima dan yang Ditolak
Jarh dan ta’dil adakala mubham, adakala mufassar. Yang mubham, ialah yang tidak diterangkan sebab, baik mengenai jarh maupun ta’dil, sedangkan yang mufassar, ialah yang diterangkan sebab.
Para ulama berbeda pendapat tentang penerimaan jarh yang mubham dan ta’dil yang mubham atas beberapa pendapat:[5]
1.      Diterima ta’dil yang tidak disebut sebab, karena sebab ta’dil banyak, maka tidak perlu disebut satu per satu. Mengenai jarh tidak dapat diterima, kecuali yang diterangkan sebabnya, karena jarh ini cukup disebut satu saja, dan karena ada yang memberi nilai jarh sesuatu yang menurut kepercayaannya, jarh, padahal bukan. Lantaran itu perlu diterangkan sebab supaya teranglah bahwa sebab yang dikemukakan itu memang suatu jarh, atau bukan.
2.      Kebalikan dari yang pertama, yaitu wajib diterangkan sebab-sebab keadilan tidak wajib diterangkan cacat karena orang banyak berpura-pura shalih, maka perlu diterangkan keadaan yang sebenarnya.
3.      Harus diterangkan sebab jarh dan sebab keadilan.
4.      Tidak wajib diterangkan sebab-sebabnya, jika yang mencela dan yang memuji, orang yang mengetahui benar-benar sebab pencelaan dan sebab pujian itu. 


KESIMPULAN




Ilmu al-jarh wa at-ta’dil adalah ilmu yang membahas tentang menyebut sesuatu yang mengakibatkan tercacatlah si perawi (menampakkan keaiban yang menolak riwayat) dan mensifatkan si perawi dengan sifat-sifat yang dipandang orang tersebut adil, yang menjadi puncak penerimaan riwayatnya.
Disyaratkan kepada mu’addil dan para jarih, harus berilmu, taqwa, wara’, jauh dari ta’ashshub dan mengetahui sebab-sebab jarh dan sebab-sebab tazkiyah atau ta’dil. Orang yang tidak demikian keadaannya, tidaklah dapat diterima tazkiyah dan jarahnya.
Dalam kitab Thawatihurahmut syarah Musallamuts Tsubut diterangkan bahwa muzakki (orang yang menyatakan ke’adilan seseorang) harus seorang yang adil lagi mengetahui sebab-sebab jarh dan ta’dil, insyaf lagi jujur, bukan muta’ashshib (‘ujub kepada diri sendiri). Orang yang muta’ashshib tidak didengar perkataannya.


DAFTAR PUSTAKA




Ash-Shiddieqy, Muhammad Hasbi, Sejarah & Pengantar Ilmu Hadits, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1999, Cet. Ke-IV.


[1] Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah & Pengantar Ilmu Hadits, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1999), hlm. 326-327.
[2] Ibid., hlm. 327.
[3] Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Loc.Cit.
[4] Ibid., hlm. 331-332.
[5] Ibid., hlm. 332-333.


No comments:

Post a Comment