Monday 13 May 2013

POLA BERPIKIR PADA ANAK AUTISME



BAB I

PENDAHULUAN





Setiap hari dalam kehidupan kita, kita mencoba memahami orang lain. Mamahami mengapa seseorang bertingkah laku atau memiliki perasaan tertentu adalah tugas yang sulit. Memang kita tidak selalu paham mengapa kita memiliki perasaan atau bertingkah laku seperti sekarang. Memahami seorang yang bertingkah laku normal saja sudah merupakan tugas yang sulit bagi seorang psikolog. Apalagi memahami seorang yang bertingkah laku abnormal, itu merupakan tugas yang lebih sulit.
Autisme merupakan bagian cabang pembahasan dari psikologi abnormal. Autisme atau gangguan autistik adalah salah satu gangguan terparah di masa kanak-kanak. Autisme bersifat kronis dan berlangsung sepanjang hidup. Anak-anak yang menderita autisme tampak benar-benar sendiri di dunia, terlepas dari upaya orang tua untuk menjembatani muara yang memisahkan mereka. Untuk lebih jelas lagi tentang pola berpikir pada anak autisme, pada makalah ini akan membahas tentang pengertian, ciri-ciri, penyebab, serta penanganan autisme.





Jakarta, 28 Juni 2011


BAB II
PEMBAHASAN



A.    Pengertian Autisme
Kata autisme menurut etimologi berasal dari bahasa Yunani, autos yang berarti self. Sedangakan menurut terminologi autisme adalah gangguan perkembangan pervasif yang ditandai dengan kegagalan untuk berhubungan dengan orang lain, terbatasnya kemampuan bahasa, perilaku motorik yang terganggu, gangguan intelektual, dan tidak menyukai perubahan dalam lingkungan. Cara berpikir autistik adalah kecenderungan untuk memandang diri sendiri sebagai pusat dari dunia, percaya bahwa kejadian-kejadian eksternal mengaju pada diri sendiri. Pada tahun 1943, psikiater lain, Leo Kanner, menerapkan diagnosis “autisme infantil awal” kepada sekelompok anak yang terganggu yang tampaknya tidak dapat berhubungan dengan orang lain, seolah-olah mereka hidup dalam dunia mereka sendiri. Berbeda dari anak-anak dengan retardasi mental, anak-anak ini tampaknya menutup diri dari setiap masukan dunia luar, menciptakan semacam “kesendirian autistik”.[1]
Mereka yang bergerak di bidang kesehatan saat ini yakin bahwa autisme lebih sering muncul daripada yang diyakini dahulu, yaitu menyerang sekitar 2 sampai 20 orang dari 10.000 orang dalam populasi. Gangguan yang lebih banyak terjadi pada anak laki-laki ini umumnya mulai tampak pada anak usia 18-30 bulan. Namun demikian, barulah pada usia sekitar 6 tahun rata-rata anak yang mengalami gangguan ini untuk pertama kali memperoleh diagnosis. Keterlambatan dalam diagnosis dapat merugikan, karena anak-anak autistik umumnya akan menjadi lebih baik bila memperoleh diagnosis dan penanganan lebih awal.[2]
B.     Ciri-ciri Autisme
Mungkin ciri autisme yang paling menonjol adalah kesendirian yang amat sangat. Ciri-ciri lain mencakup masalah dalam bahasa, komunikasi, dan perilaku ritualistik atau stereotip. Anak dapat pula tidak bicara, atau bila terdapat keterampilan berbahasa, biasanya digunakan secara tidak lazim seperti dalam ekokalia (mengulang kembali apa yang didengar dengan nada suara tinggi dan monoton).
Ciri utama dari autisme adalah gerakan stereotip berulang yang tidak memiliki tujuan, berulang-ulang memutar benda, mengepakkan tangan, berayun ke depan dan ke belakang dengan lengan memeluk kaki. Sebagian anak autistik menyakiti diri sendiri, bahkan saat mereka berteriak kesakitan. Mereka mungkin membenturkan kepala, menampar wajah, menggigit tangan dan pundak, atau menjambak rambut mereka. Mereka dapat pula menjadi tantrum atau merasa pani secara tiba-tiba. Ciri lain dari autisme adalah menolak perubahan pada lingkungan, ciri yang diberi istilah “penjaga kesamaan”. Bila ada objek-objek yang dikenal dan digeser dari tempatnya, walaupun sedikit, anak autistik dapat menjadi tantrum atau menangis terus-menerus sampai objek tersebut dikembalikan pada tempatnya.[3]
C.    Penyebab Autisme
Penyebab autisme belum diketahui, tetapi diduga berhubungan dengan abnormalitas. Awalnya, dari sudut pandang yang mendiskreditkannya, penyebab tidak adanya kontak sosial pada anak autistik dikatakan sebagai reaksi terhadap orang tua yang dingin dan mengabil jarak, “lemari es emosional” yang kurang memiliki kemampuan untuk menciptakan hubungan yang hangat dengan anak-anak mereka. Penelitian-penelitian tidak dapat membuktikan asumsi ini yang dianggap menghancurkan hati banyak orang tua bahwa mereka dingin dan jauh. Sudah tentu ada benarnya bahwa anak-anak autistik tidak memiliki hubungan yang cukup baik dengan orang tua mereka, tetapi hubungan sebab akibatnya masih diragukan. Penolakan orang tua tidak menyebabkan autisme, tetapi orang tua dapat berubah menjadi mengambil jarak karena usaha-usaha mereka untuk berhubungan dengan anak berkali-kali gagal. Jadi sikap menjauh merupakan akibat dari autisme, bukan penyebab.
Bukti-bukti dari pemeriksaan pindai MRI dan PET menunjukkan abnormalitas pada otak anak laki-laki dan pria dewasa yang menyandang autisme, termasuk membesarnya ventrikel yang mengindiksikan hilangnya sel-sel otak. Namun para peneliti belum menentukan kerusakan otak seperti apa yang dapat menjadi penyebab autisme. Mungkin autisme berasal dari penyebab majemuk yang melibatkan lebih dari satu tipe abnormalitas otak. Para ahli menduga bahwa penyebab yang mendasari autisme dapat berasal dari kerusakan gen atau pengaruh racun terhadap bayi dalam kandungan. Pada akhirnya, penyebab autisme tetap menjadi misteri.[4]
D.    Penanganan Autisme
Walaupun autisme belum dapat disembuhkan, penelitian selama 30 tahun mendukung pentingnya program penanganan perilaku yang intensif, yang menerapkan prinsip-prinsip belajar untuk mengurangi perilaku yang mengganggu dan meningkatkan keterampilan belajar serta komunikasi pada anak-anak autistik. Tidak ada pendekatan penanganan lain yang memberikan hasil yang sama.
Pendekatan perilaku didasarkan pada metode operant conditioning  di mana reward dan hukuman secara sistematis diaplikasikan untuk meningkatkan kemampuan anak memperhatikan orang lain, bermain dengan anak lain, mengembangkan keterapilan akademik dan menghilangkan perilaku self-mutilative.
Pendekatan biologis hanya memberikan pengaruh yang terbatas pada penanganan autisme. Hal ini dapat berubah. Penelitian menunjukkan bahwa obat-obatan yang meningkatkan aktivitas serotonin, seperti SSRI, dapat mengurangi pikiran dan perilaku repetitif serta agresivitas sehingga menghasilkan perbaikan dalam hubungan social dan penggunaan bahasa pada individu autistik dewasa. Efek dari obat-obatan ini pada anak autistik masih perlu dilihat. Penelitian lain berfokus pada obat-obatan yang biasanya digunakan untuk menangani skizofrenia.


KESIMPULAN



Dari pembahasan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa autisme adalah gangguan perkembangan pervasif yang ditandai dengan kegagalan untuk berhubungan dengan orang lain, terbatasnya kemampuan bahasa, perilaku motorik yang terganggu, gangguan intelektual, dan tidak menyukai perubahan dalam lingkungan. Cara berpikir autistik adalah kecenderungan untuk memandang diri sendiri sebagai pusat dari dunia, percaya bahwa kejadian-kejadian eksternal mengaju pada diri sendiri.
Ciri utama dari autisme adalah gerakan stereotip berulang yang tidak memiliki tujuan, berulang-ulang memutar benda, mengepakkan tangan, berayun ke depan dan ke belakang dengan lengan memeluk kaki. Sebagian anak autistik menyakiti diri sendiri, bahkan saat mereka berteriak kesakitan. Mereka mungkin membenturkan kepala, menampar wajah, menggigit tangan dan pundak, atau menjambak rambut mereka.



DAFTAR PUSTAKA


Nevid, Jeffrey S., dkk., Abnormal Psychology in a Changing World, Terj.; Tim Fakultas Psikologi UI, Psikologi Abnormal, Jilid II, Jakarta: Erlangga, 2005.
Davison, Gerald C., dkk., Abnormal Psychology, Terj.; Noermalasari Fajar, Psikologi Abnormal, Jakarta: Rajawali Pers, 2010.


[1] Jeffrey S. Nevid, dkk., Abnormal Psychology in a Changing World, Terj.; Tim Fakultas Psikologi UI, Psikologi Abnormal, Jilid II, (Jakarta: Erlangga, 2005), hlm. 145.
[2] Ibid., hlm. 145-146.
[3] Ibid., hlm. 146. Lihat juga: Gerald C. Davison, dkk., Abnormal Psychology, Terj.; Noermalasari Fajar, Psikologi Abnormal, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), 719-723.

[4] Ibid., hlm. 147.

No comments:

Post a Comment