BAB I
PENDAHULUAN
Setiap hari dalam kehidupan kita, kita mencoba memahami orang lain.
Mamahami mengapa seseorang bertingkah laku atau memiliki perasaan tertentu
adalah tugas yang sulit. Memang kita tidak selalu paham mengapa kita memiliki
perasaan atau bertingkah laku seperti sekarang. Memahami seorang yang
bertingkah laku normal saja sudah merupakan tugas yang sulit bagi seorang
psikolog. Apalagi memahami seorang yang bertingkah laku abnormal, itu merupakan
tugas yang lebih sulit.
Autisme merupakan bagian cabang pembahasan dari psikologi abnormal.
Autisme atau gangguan autistik adalah salah satu gangguan terparah di masa
kanak-kanak. Autisme bersifat kronis dan berlangsung sepanjang hidup. Anak-anak
yang menderita autisme tampak benar-benar sendiri di dunia, terlepas dari upaya
orang tua untuk menjembatani muara yang memisahkan mereka. Untuk lebih jelas
lagi tentang pola berpikir pada anak autisme, pada makalah ini akan membahas
tentang pengertian, ciri-ciri, penyebab, serta penanganan autisme.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Autisme
Kata autisme menurut etimologi berasal dari bahasa Yunani, autos yang
berarti self. Sedangakan menurut terminologi autisme adalah gangguan
perkembangan pervasif yang ditandai dengan kegagalan untuk berhubungan dengan
orang lain, terbatasnya kemampuan bahasa, perilaku motorik yang terganggu,
gangguan intelektual, dan tidak menyukai perubahan dalam lingkungan. Cara
berpikir autistik adalah kecenderungan untuk memandang diri sendiri sebagai
pusat dari dunia, percaya bahwa kejadian-kejadian eksternal mengaju pada diri
sendiri. Pada tahun 1943, psikiater lain, Leo Kanner, menerapkan diagnosis
“autisme infantil awal” kepada sekelompok anak yang terganggu yang tampaknya
tidak dapat berhubungan dengan orang lain, seolah-olah mereka hidup dalam dunia
mereka sendiri. Berbeda dari anak-anak dengan retardasi mental, anak-anak ini
tampaknya menutup diri dari setiap masukan dunia luar, menciptakan semacam
“kesendirian autistik”.[1]
Mereka yang bergerak di bidang kesehatan saat ini yakin bahwa autisme
lebih sering muncul daripada yang diyakini dahulu, yaitu menyerang sekitar 2
sampai 20 orang dari 10.000 orang dalam populasi. Gangguan yang lebih banyak
terjadi pada anak laki-laki ini umumnya mulai tampak pada anak usia 18-30
bulan. Namun demikian, barulah pada usia sekitar 6 tahun rata-rata anak yang
mengalami gangguan ini untuk pertama kali memperoleh diagnosis. Keterlambatan
dalam diagnosis dapat merugikan, karena anak-anak autistik umumnya akan menjadi
lebih baik bila memperoleh diagnosis dan penanganan lebih awal.[2]
B.
Ciri-ciri Autisme
Mungkin ciri autisme yang paling menonjol adalah kesendirian yang amat
sangat. Ciri-ciri lain mencakup masalah dalam bahasa, komunikasi, dan perilaku
ritualistik atau stereotip. Anak dapat pula tidak bicara, atau bila terdapat
keterampilan berbahasa, biasanya digunakan secara tidak lazim seperti dalam
ekokalia (mengulang kembali apa yang didengar dengan nada suara tinggi dan
monoton).
Ciri utama dari autisme adalah gerakan stereotip berulang yang tidak
memiliki tujuan, berulang-ulang memutar benda, mengepakkan tangan, berayun ke
depan dan ke belakang dengan lengan memeluk kaki. Sebagian anak autistik
menyakiti diri sendiri, bahkan saat mereka berteriak kesakitan. Mereka mungkin
membenturkan kepala, menampar wajah, menggigit tangan dan pundak, atau
menjambak rambut mereka. Mereka dapat pula menjadi tantrum atau merasa pani
secara tiba-tiba. Ciri lain dari autisme adalah menolak perubahan pada
lingkungan, ciri yang diberi istilah “penjaga kesamaan”. Bila ada objek-objek
yang dikenal dan digeser dari tempatnya, walaupun sedikit, anak autistik dapat
menjadi tantrum atau menangis terus-menerus sampai objek tersebut dikembalikan
pada tempatnya.[3]
C.
Penyebab Autisme
Penyebab autisme belum diketahui, tetapi diduga berhubungan dengan
abnormalitas. Awalnya, dari sudut pandang yang mendiskreditkannya, penyebab
tidak adanya kontak sosial pada anak autistik dikatakan sebagai reaksi terhadap
orang tua yang dingin dan mengabil jarak, “lemari es emosional” yang kurang
memiliki kemampuan untuk menciptakan hubungan yang hangat dengan anak-anak
mereka. Penelitian-penelitian tidak dapat membuktikan asumsi ini yang dianggap
menghancurkan hati banyak orang tua bahwa mereka dingin dan jauh. Sudah tentu
ada benarnya bahwa anak-anak autistik tidak memiliki hubungan yang cukup baik
dengan orang tua mereka, tetapi hubungan sebab akibatnya masih diragukan.
Penolakan orang tua tidak menyebabkan autisme, tetapi orang tua dapat berubah
menjadi mengambil jarak karena usaha-usaha mereka untuk berhubungan dengan anak
berkali-kali gagal. Jadi sikap menjauh merupakan akibat dari autisme, bukan
penyebab.
Bukti-bukti dari pemeriksaan pindai MRI dan PET menunjukkan abnormalitas pada
otak anak laki-laki dan pria dewasa yang menyandang autisme, termasuk
membesarnya ventrikel yang mengindiksikan hilangnya sel-sel otak. Namun para
peneliti belum menentukan kerusakan otak seperti apa yang dapat menjadi
penyebab autisme. Mungkin autisme berasal dari penyebab majemuk yang melibatkan
lebih dari satu tipe abnormalitas otak. Para ahli menduga bahwa penyebab yang
mendasari autisme dapat berasal dari kerusakan gen atau pengaruh racun terhadap
bayi dalam kandungan. Pada akhirnya, penyebab autisme tetap menjadi misteri.[4]
D.
Penanganan Autisme
Walaupun autisme belum dapat disembuhkan, penelitian selama 30 tahun
mendukung pentingnya program penanganan perilaku yang intensif, yang menerapkan
prinsip-prinsip belajar untuk mengurangi perilaku yang mengganggu dan
meningkatkan keterampilan belajar serta komunikasi pada anak-anak autistik.
Tidak ada pendekatan penanganan lain yang memberikan hasil yang sama.
Pendekatan perilaku didasarkan pada metode operant conditioning di mana reward dan hukuman secara sistematis
diaplikasikan untuk meningkatkan kemampuan anak memperhatikan orang lain,
bermain dengan anak lain, mengembangkan keterapilan akademik dan menghilangkan
perilaku self-mutilative.
Pendekatan biologis hanya memberikan pengaruh yang terbatas pada
penanganan autisme. Hal ini dapat berubah. Penelitian menunjukkan bahwa
obat-obatan yang meningkatkan aktivitas serotonin, seperti SSRI, dapat
mengurangi pikiran dan perilaku repetitif serta agresivitas sehingga
menghasilkan perbaikan dalam hubungan social dan penggunaan bahasa pada
individu autistik dewasa. Efek dari obat-obatan ini pada anak autistik masih
perlu dilihat. Penelitian lain berfokus pada obat-obatan yang biasanya
digunakan untuk menangani skizofrenia.
KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa autisme adalah
gangguan perkembangan pervasif yang ditandai dengan kegagalan untuk berhubungan
dengan orang lain, terbatasnya kemampuan bahasa, perilaku motorik yang
terganggu, gangguan intelektual, dan tidak menyukai perubahan dalam lingkungan.
Cara berpikir autistik adalah kecenderungan untuk memandang diri sendiri
sebagai pusat dari dunia, percaya bahwa kejadian-kejadian eksternal mengaju
pada diri sendiri.
Ciri utama dari autisme adalah gerakan stereotip berulang yang tidak
memiliki tujuan, berulang-ulang memutar benda, mengepakkan tangan, berayun ke
depan dan ke belakang dengan lengan memeluk kaki. Sebagian anak autistik
menyakiti diri sendiri, bahkan saat mereka berteriak kesakitan. Mereka mungkin
membenturkan kepala, menampar wajah, menggigit tangan dan pundak, atau
menjambak rambut mereka.
DAFTAR
PUSTAKA
Nevid, Jeffrey S., dkk., Abnormal Psychology in a
Changing World, Terj.; Tim Fakultas Psikologi UI, Psikologi Abnormal,
Jilid II, Jakarta: Erlangga, 2005.
Davison, Gerald C., dkk., Abnormal Psychology,
Terj.; Noermalasari Fajar, Psikologi Abnormal, Jakarta: Rajawali Pers,
2010.
[1] Jeffrey
S. Nevid, dkk., Abnormal Psychology in a Changing World, Terj.; Tim
Fakultas Psikologi UI, Psikologi Abnormal, Jilid II, (Jakarta: Erlangga,
2005), hlm. 145.
[2] Ibid.,
hlm. 145-146.
[3] Ibid.,
hlm. 146. Lihat juga: Gerald C. Davison, dkk., Abnormal Psychology,
Terj.; Noermalasari Fajar, Psikologi Abnormal, (Jakarta: Rajawali Pers,
2010), 719-723.
[4] Ibid.,
hlm. 147.
No comments:
Post a Comment