Monday 6 May 2013

Induk Akhlak Islami




Akhlak merupakan suatu perbuatan yang telah tertanam kuat dalam jiwa seseorang, sehingga menjadi kepribadiannya. Karena sifatnya yang mendarah daging, maka semua perbuatannya dilakukan dengan mudah dan tanpa pemikiran. Dengan demikian, baik atau buruknya seseorang dilihat dari perbuatannya.
Induk akhlak Islami yang akan dibahas pada makalah maksudnya adalah sikap adil dalam melakukan suatu perbuatan. Dari sikap adil tersebut akan muncul teori pertengahan, karena sebaik-baiknya perkara (perbuatan) itu terletak pada pertengahannya, hal ini apa yang telah Nabi sabdakan :
   َُْ َُُِْْوََُْ
Artinya :
“Sebaik-baiknya urusan (perbuatan) adalah yang pertengahan”. (HR. Ahmad).
Oleh karena itu, agar lebih jelasnya lagi tentang induk akhlak Islami, di dalam makalah ini akan membahas apa yang dimaksud dengan induk akhlak Islami, serta ketiga macam induk akhlak yang muncul dari sikap adil, yaitu sikap pertengahan atau seimbang dalam mempergunakan ketiga potensi rohaniah yang terdapat dalam diri manusia ; akal, amarah dan nafsu syahwat.



Jakarta, 21 Maret 2011




A. Induk Akhlak Islami
Dalam berbagai literatur tentang Ilmu Akhlak Islami, dijumpai uraian tentang akhlak yang secara garis besar dapat dibagi dua bagian, yaitu akhlak yang baik (al-akhlaq al-karimah), dan akhlak yang buruk (al-akhlaq al-mazmumah). Berbuat adil, jujur, sabar, pemaaf, dermawan dan amanah misalnya termasuk ke dalam akhlak yang baik. Sedangkan berbuat zalim, berdusta, pemarah, pendendam, kikir dan curang termasuk ke dalam akhlak yang buruk. Bagaimanakah terjadinya berbagai akhlak yang mulia dan tercela ini ? Uraian berikut ini akan mencoba menjawabnya.  
Secara teoritis macam-macam akhlak tersebut berinduk kepada tiga perbuatan yang utama, yaitu hikmah (bijaksana), syaja’ah (pewira atau kesatria), dan iffah (menjaga diri dari perbutan dosa dan maksiat). Ketiga macam induk akhlak ini muncul dari sikap adil, yaitu sikap pertengahan atau seimbang dalam mempergunakan ketiga potensi rohaniah yang terdapat dalam diri manusia, yaitu ‘aql (pemikiran) yang berpusat di kepala, ghadab (amarah) yang berpusat di dada, dan nafsu syahwat (dorongan seksual) yang berpusat di perut. Akal yang digunakan secara adil akan menimbulkan hikmah, sedangkan amarah yang digunakan secara adil akan menimbulkan sikap perwira, dan nafsu syahwat yang digunakan secara adil akan menimbulkan iffah yaitu dapat memelihara diri dari perbuatan maksiat. Dengan demikian inti akhlak pada akhirnya bermuara pada sikap adil dalam mempergunakan potensi rohaniah yang dimiliki manusia. Demikian pentingnya bersikap adil ini di dalam al-Qur’an kita jumpai berbagai ayat yang menyuruh manusia agar mampu bersikap adil.[1] Untuk itu perhatikanlah ayat-ayat di bawah ini :
(#qä9Ïôã$# uqèd Ü>tø%r& 3uqø)­G=Ï9 (
Artinya :
 “Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa”. (QS. Al-Maidah : 8).[2]

#sŒÎ)ur OçFôJs3ym tû÷üt/ Ĩ$¨Z9$# br& (#qßJä3øtrB ÉAôyèø9$$Î/
Artinya :
 “Dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia hendaknya kamu menetapkannya dengan adil”. (QS. an-Nisa : 58).[3]
* ¨bÎ) ©!$# ããBù'tƒ ÉAôyèø9$$Î/ Ç`»|¡ômM}$#ur Ç!$tGƒÎ)ur ÏŒ 4n1öà)ø9$# 4sS÷Ztƒur Ç`tã Ïä!$t±ósxÿø9$# ̍x6YßJø9$#ur ÄÓøöt7ø9$#ur 4 öNä3ÝàÏètƒ öNà6¯=yès9 šcr㍩.xs? ÇÒÉÈ  
Artinya :
 “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran”. (QS. an-Nahl : 90).[4]
Ayat-ayat tersebut secara keseluruhan bertemakan perintah berbuat adil yang dihubungkan dengan perbuatan-perbuatan yang baik, seperti bertakwa kepada Allah, menetapkan keputusan yang bijaksana, berbuat kebajikan, memberi makan kepada kaum kerabat, menjauhi perbuatan keji dan munkar serta perbuatan yang menimbulkan permusuhan. Dengan demikian ayat tersebut dapat dipahami bahwa keadilan erat kaitannya dengan timbulnya berbagai perbuatan terpuji lainnya.[5] Berikut ini akan dijelaskan ketiga macam induk akhlak yang muncul dari sikap adil, yaitu sikap pertengahan atau seimbang dalam mempergunakan ketiga potensi rohaniah yang terdapat dalam diri manusia :

1. Akal

Akal yang digunakan secara adil akan menimbulkan hikmah. Pemahaman tersebut pada akhirnya akan membawa kepada timbulnya teori pertengahan, yaitu bahwa sikap pertengahan sebagai pangkal timbulnya kebajikan. Pemahaman ini sejalan pula dengan isyarat yang terdapat dalam hadits nabi yang berbunyi :
َُْ َُُِْْوََُْ
Artinya :
“Sebaik-baiknya urusan (perbuatan) adalah yang pertengahan”. (HR. Ahmad).
Sebaliknya akhlak yang buruk atau tercela pada dasarnya timbul disebabkan oleh penggunaan dari ketiga potensi rohaniah yang tidak adil. Akal yang digunakan secara berlebihan akan menimbulkan sikap pintar busuk atau penipu; dan akal yang digunakan terlalu lemah akan menimbulkan sikap dungu atau ediot. Dengan demikian akal yang digunakan secara berlebihan atau terlalu lemah merupakan pangkal timbulnya akhlak yang tercela.[6]
2. Amarah
Amarah yang digunakan secara adil akan menimbulkan sikap perwira, demikian pula amarah yang digunakan terlalu berlebihan akan menimbulkan sikap membabi buta atau hantam kromo, yaitu berani tanpa memperhitungkan kebaikan dan keburukannya. Sebaliknya jika amarah digunakan terlalu lemah akan menibulkan sikap pengecut. Dengan demikian penggunaan amarah secara berlebihan atau berkurang sama-sama akan menimbulkan akhlak yang buruk. Berkenaan dengan ini di dalam al-Qur’an dijumpai ayat yang menunjukkan akhlak yang baik yang dihubungkan dengan sikap yang mampu menahan amarah. Allah berfirman :
tûïÏ%©!$# tbqà)ÏÿZムÎû Ïä!#§Žœ£9$# Ïä!#§ŽœØ9$#ur tûüÏJÏà»x6ø9$#ur xáøtóø9$# tûüÏù$yèø9$#ur Ç`tã Ĩ$¨Y9$# 3
Artinya :
“(Orang-orang yang bertakwa yaitu) “Orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema'afkan (kesalahan) orang lain”. (QS. Ali ‘Imran : 134).[7]
Pada ayat tersebut kemampuan menahan amarah dijadikan salah-satu sifat orang yang bertakwa dan disebut bersamaan dengan akhlak yang terpuji lainnya, yaitu menafkahkan sebagian hartanya, baik dalam keadaan lapang maupun dalam keadaan sempit serta mau memaafkan kesalahan orang lain.[8]
Penggunaan amarah secara pertengahan itu sejalan pula dengan hadits nabi yang berbunyi :
ََْ ﺍﻟﺸَُِِّْﺎﻟﺼََََُِِّّْﺎ ﺍﻟﺸَُِّْ ﺍﻟَََََُُِِِّْْْْ ﺍﻟََِْ  
Artinya :
“Orang yang gagah perkasa itu bukanlah orang yang kuat tenaganya, tetapi orang yang gagah itu adalah orang yang dapat menahan amarahnya jika marah”. (HR. Ahmad).
3. Nafsu syahwat
Nafsu syahwat yang digunakan secara pertengahanlah yang akan menimbulkan sikap iffah, yaitu orang yang dapat menahan syahwat dan farjinya dari berbuat lacur. Allah Swt. berfirman :
ôs% yxn=øùr& tbqãZÏB÷sßJø9$# tûïÏ%©!$# öNèd Îû öNÍkÍEŸx|¹ tbqãèϱ»yz tûïÏ%©!$#ur öNèd Ç`tã Èqøó¯=9$# šcqàÊ̍÷èãB tûïÏ%©!$#ur öNèd Ío4qx.¨=Ï9 tbqè=Ïè»sù tûïÏ%©!$#ur öNèd öNÎgÅ_rãàÿÏ9 tbqÝàÏÿ»ym  
Artinya :
“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu' dalam sembahyangnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna, dan orang-orang yang menunaikan zakat, dan orang-orang yang menjaga kemaluannya”. (QS. Al-Mu’minun : 1-5).[9]
Di dalam juga dijumpai keterangan tentang orang yang akan mendapatkan perlindungan di hari kiamat, di antaranya adalah seorang yang diajak berbuat serong, namun ia dapat menjaga dirinya. Teks haditsnya berbunyi :
ٌََُﺍﻋٌََََُِْْﺍﺕٍََََََْﺎﻝٍََﺎﻝَََِِّْﺎﻑُ ﺍﷲَََّ ﺍﻟَْﺎﻟََِْ
Artinya :
 “Seseorang yang diajak berbuat serong oleh seorang wanita yang mempunyai kecantikan dan martabat, lalu ia mengatakan bahwa aku takut kepada Allah yang menguasai sekalian alam”. (HR. Bukhari).
Demikian pula nafsu syahwat yang digunakan secara berlebihan akan menimbulkan sikap melacur, dan jika nafsu syahwat tersebut digunakan secara lemah akan menimbulkan sikap tercela, yaitu tidak ada semangat untuk hidup.
Dengan demikian dari sikap pertengahan dalam menggunakan akal, amarah, dan nafsu syahwat menimbulkan sikap bijaksana, perwira, dan dapat memelihara diri. Dan dari tiga sikap inilah menimbulkan akhlak yang mulia.[10]
Dalam perkembangan selanjutnya teori pertengahan (adil) ini digunakan pula untuk menjelaskan berbagai sifat Tuhan yang terkesan berlawanan. Diketahui bahwa sifat-sifat Tuhan di samping ada yang menunjukkan kelembutan, juga ada yang menunjukkan kekerasan. Sifat rahman (Maha Pengasih) dan sifat rahim (Maha Penyayang) misalnya menunjukkan pada kelembutan Tuhan. Namun sifat jabbar (Maha Memaksa), kohhar (Maha Mengalahkan) misalnya menunjukkan pada kekerasan Tuhan. Sifat-sifat yang tampak saling kontradiktif ini dapat dipertemukan melalui sikap pertengahan. Dengan demikian secara struktural sifat-sifat Tuhan yang lainnya berada di bawah koordinasi sifat adil. Sifat jabbar dan kohhar akan tetap positif apabila digunakan secara seimbang atau digunakan sesuai dengan kadar dan tempatnya. Dengan demikian sifat adil atau seimbang menjadi koordinator dari sifat-sifat lainnya.
Dalam hubungan ini orang misalnya dapat menerapkan sifat kohhar dan jabbar pada anaknya, tetapi hal itu dilakukan dengan cukup perhitungan dan dalam semangat kasih sayang. Demikian juga halnya Tuhan terhadap manusia.
Penerapan sifat adil (pertengahan) Tuhan dalam hubungannya dengan akhlak lebih lanjut dapat dijumpai dalam ajaran Muktazilah. Aliran teologi ini sebagai dijelaskan Mahmud Shubhi lebih lanjut mengatakan:
“Muktazilah telah memberikan petunjuk dengan jelas, bahwa seluruh perbuatan yang dilakukan Tuhan terhadap makhluk-Nya adalah dalam rangka keadilan-Nya. Demikian pula manusia berhubungan dengan Tuhan melalui pengrmbangan sikap adil yang dilakukannya. Manusia yang berbuat adil adalah manusia yang meniru sifat Tuhan dan selalu dengan kepada-Nya”.
Teori pertengahan sebagai dikembangkan di atas memang tidak luput pula dari kritik. Para peneliti bidang akhlak dalam hubungan ini mengatakan bahwa teori tengah-tengah sebagaimana dikemukakan Aristoteles dan diikuti oleh Ibnu Miskawaih dan para filosof akhlak lainnya tidak sepenuhnya dapat diterima. Menurut para pengritik, bahwa keutamaan tidak selalu berada pada titik tengah. Keutamaan sebenarnya berada pada titik yang jauhnya tidak sama dari dua sisi keburukan. Para pengritik lebih lanjut memberi contoh, bahwa sikap dermawan misalnya adalah lebih dekat kepada sikap boros dibandingkan pada sifat kikir. Demikian pula sifat berani lebih dekat kepada sifat membabi buta dibandingkan dengan sifat pengecut. Demikian seterusnya dengan sifat-sifat lainnya.
Para pengritik lebih lanjut mengatakan, banyak keutamaan yang tidak kelihatan bahwa ia berada di tengah-tengah antara dua keburukan, seperti jujur dan adil. Orang yang jujur misalnya tidak ada pertengahannya, karena tidak ada posisi pada sifat jujur dan adil. Tidak ada sifat setengah jujur dan setengah adil. Demikian juga dengan sifat benar, tidak ada setengah benar atau setengah salah. Lawan dari benar hanyalah dusta. Antara benar dan dusta tidak ada tengah-tengahnya. Demikian pula sifat adil tidak ada setengahnya atau setengah adil. Jika disebut adil, maka lawannya hanya dzalim.
Terlepas dari kritik tersebut yang jelas bahwa teori pertengahan tidak dapat menjelaskan seluruh contoh perbuatan akhlak yang baik atau yang buruk. Teori pertengahan hanya terbatas pada akhlak yang dasarnya adalah bersumber pada penggunaan potensi rohaniah: akal, amarah, dan nafsu syahwat yang digunakan secara pertengahan.
Lalu bagaimanakah jika teori pertengahan yang merupakan sumber akhlak tersebut dihubungkan dengan Al-Qur’an? Untuk menjawab ini perhatikanlah ayat-ayat di bawah ini.
Hasil penelitian yang dilakukan Muhammad Fu’ad Abd al-Baqi menginformasikan bahwa di dalam al-Qur’an kata adil disebut sebanyak 28 kali, di antaranya adalah ayat-ayat yang berikut ini:
$pkšr'¯»tƒ ß`»|¡RM}$# $tB x8¡xî y7În/tÎ/ ÉOƒÌx6ø9$#  Ï%©!$# y7s)n=yz y71§q|¡sù y7s9yyèsù
Artinya:
 “Hai manusia, Apakah yang telah memperdayakan kamu (berbuat durhaka) terhadap Tuhanmu yang Maha Pemurah. yang telah menciptakan kamu lalu menyempurnakan kejadianmu dan menjadikan (susunan tubuh) mu seimbang”. (QS. Al-Infithar : 6-7).
(#qà)¨?$#ur $YBöqtƒ žw ÌøgrB ë§øÿtR `tã <§øÿ¯R $\«øx© Ÿwur ã@t6ø)ム$pk÷]ÏB ×pyè»xÿx© Ÿwur äs{÷sム$pk÷]ÏB ×Aôtã Ÿwur öNèd tbrã|ÁZム 
Artinya:
“Dan jagalah dirimu dari (azab) hari (kiamat, yang pada hari itu) seseorang tidak dapat membela orang lain, walau sedikitpun; dan (begitu pula) tidak diterima syafa'at dan tebusan dari padanya, dan tidaklah mereka akan ditolong”. (QS. Al-Baqarah : 48).

* $pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãYtB#uä (#qçRqä. tûüÏBº§qs% ÅÝó¡É)ø9$$Î/ uä!#ypkà­ ¬! öqs9ur #n?tã öNä3Å¡àÿRr& Írr& ÈûøïyÏ9ºuqø9$# tûüÎ/tø%F{$#ur 4 bÎ) ïÆä3tƒ $ÏYxî ÷rr& #ZŽÉ)sù ª!$$sù 4n<÷rr& $yJÍkÍ5 ( Ÿxsù (#qãèÎ7­Fs? #uqolù;$# br& (#qä9Ï÷ès? 4 bÎ)ur (#ÿ¼âqù=s? ÷rr& (#qàÊ̍÷èè? ¨bÎ*sù ©!$# tb%x. $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? #ZŽÎ6yz 
Artinya:
 “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. jika ia kaya ataupun miskin, Maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui segala apa yang kamu kerjakan”. (QS. Al-Nisa : 135).
$ygƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sŒÎ) LäêZtƒ#ys? AûøïyÎ/ #n<Î) 9@y_r& wK|¡B çnqç7çFò2$$sù 4 =çGõ3uø9ur öNä3uZ÷­/ 7=Ï?$Ÿ2 ÉAôyèø9$$Î/ 4
Artinya:
 “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar”. (QS. Al-Baqarah : 282).
  bÎ*sù tb%x. Ï%©!$# Ïmøn=tã ,ysø9$# $·gŠÏÿy ÷rr& $¸ÿÏè|Ê ÷rr& Ÿw ßìÏÜtGó¡o br& ¨@ÏJムuqèd ö@Î=ôJãŠù=sù ¼çmÏ9ur ÉAôyèø9$$Î/ 4
Artinya:
 “Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau Dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, Maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur”. (QS. Al-Baqarah : 282).
                                        

Jika diperhatikan dengan seksama, tampak bahwa kata-kata adil dalam al-Qur’an digunakan untuk berbagai peristiwa dan aktivitas kehidupan, yaitu bahwa keadilan harus ditegakkan dalam rangka memutuskan perkara di pengadilan, dalam rangka mencatat perjanjian, dalam pengangkatan seorang petugas pencatat utang piutang dan sebagainya. Ini menunjukkan bahwa teori pertengahan sebagai sumber timbulnya akhlak yang mulia tidak bertentangan dengan ajaran al-Qur’an atau mendapat tempat di dalam al-Qur’an. Demikian pentingnya berbuat adil, maka masalah keadilan menjadi hal yang harus ditegakkan oleh seluruh manusia. (Lihat QS. Al-Nahl : 90). Jika adil tersebut dihubungkan dengan akhlak yang mulia, maka perintah adil tersebut berarti perintah berakhlak mulia. Cara al-Qur’an memang demikian ijaz (simpel) tapi maknanya cukup dalam, yakni disebut satu bagian saja, tetapi yang dimaksudkan adalah menyangkut seluruh aspek kehidupan. Inilah sebabnya barangkali mengapa para khatib Jum’at di akhir khutbahnya selalu mengajak para jama’ah agar berlaku adil dan berbuat adil, sejalan dengan firman Allah Swt. :
¨bÎ) ©!$# ããBù'tƒ ÉAôyèø9$$Î/ Ç`»|¡ômM}$#ur Ç!$tGƒÎ)ur ÏŒ 4n1öà)ø9$# 4sS÷Ztƒur Ç`tã Ïä!$t±ósxÿø9$# ̍x6YßJø9$#ur ÄÓøöt7ø9$#ur 4 öNä3ÝàÏètƒ öNà6¯=yès9 šcr㍩.xs?  
Artinya:
 “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran”. (QS. Al-Nahl : 90).

Ayat tersebut dengan jelas menyuruh kita berbuat adil yang disejajarkan dengan berbuat baik kepada kerabat, menyuruh berbuat baik dan menjauhi perbuatan keji dan munkar.
Namun demikian untuk menunjuk pada contoh-contoh dalam bentuk perbuatan dalam hubungannya dengan teori pertengahan, al-Qur’an tidak selamanya menggunakan kata adil. Sikap pertengahan antara kikir dan boros misalnya, al-Qur’an menggunakan kata qawaama seperti terlihat pada ayat yang berbunyi di bawah ini:
tûïÏ%©!$#ur !#sŒÎ) (#qà)xÿRr& öNs9 (#qèù̍ó¡ç öNs9ur (#rçŽäIø)tƒ tb%Ÿ2ur šú÷üt/ šÏ9ºsŒ $YB#uqs%
Artinya:
 “Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian”. (QS. Al-Furqan : 67).

Selanjutnya untuk sikap pertengahan (adil) dalam hal menimbang, al-Qur’an menggunakan kata al-qisthas sebagaimana terlihat pada ayat yang berbunyi:
(#qèù÷rr&ur Ÿ@øs3ø9$# #sŒÎ) ÷Läêù=Ï. (#qçRÎur Ĩ$sÜó¡É)ø9$$Î/ ËLìÉ)tFó¡ßJø9$# 4
Artinya:
 “Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan neraca yang benar”. (QS. Al-Isra’ : 35).

Dalam pada itu ketika menggambarkan pertengahan (adil) yang berhubungan dengan berinfak di jalan Allah, al-Qur’an menggambarkan perbuatan tersebut antara terlalu kikir dan terlalu longgar (tanpa kontrol). Hal ini terlihat dalam ayat yang berbunyi:
Ÿwur ö@yèøgrB x8ytƒ »'s!qè=øótB 4n<Î) y7É)ãZãã Ÿwur $ygôÜÝ¡ö6s? ¨@ä. ÅÝó¡t6ø9$# yãèø)tFsù $YBqè=tB #·qÝ¡øt¤C
Artinya:
 “Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya, karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal”. (QS. Al-Isra’ : 29).

Dalam hal pengaturan volume suara yang pertengahan dalam berdoa, al-Qur’an menempatkannya antara tadharru’, khifah dengan al-jahr, sebagai terlihat pada ayat yang berbunyi:
ä.øŒ$#ur š­/§ Îû šÅ¡øÿtR %YæŽ|Øn@ ZpxÿÅzur tbrߊur ̍ôgyfø9$# z`ÏB ÉAöqs)ø9$#
Artinya:
 “Dan sebutlah (nama) Tuhannmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara”. (QS. Al-‘Araf : 205).
Selanjutnya di dalam hadits dijumpai kata haunamma yang digunakan untuk menggambarkan sikap pertengahan dalam mencintai atau membenci seseorang. Hal ini misalnya dapat dilihat pada hadits yang berbunyi:
    أَحْبِبْ حَبِيْبَكَ هَوْنًامًّا عَسَى أَنْ يَكُوْنَ بَغِيْضَكَ يَوْمًامًّا وَ أَبْغِضْ بَغِيْضَكَ هَوْنًامًّا عَسَى أَنْ يَكُوْنَ حَبِيْبَكَ يَوْمًامًّا
Artinya:
 “Cintailah kekasihmu dengan sikap pertengahan, karena boleh jadi orang yang engkau cintai itu menjadi musuhmu di kemudian hari. Dan bencilah musuhmu dengan sikap pertengahan, karena boleh jadi orang yang engkau musuhi itu menjadi kekasihmu di kemudian hari. (HR. Turmudzi).
Dalam itu untuk menunjukkan pada sikap pertengahan (adil) dalam memutuskan perkara, al-Qur’an menggunakan kata al-adl, sebagaimana terlihat pada ayat yang berbunyi:
#sŒÎ)ur OçFôJs3ym tû÷üt/ Ĩ$¨Z9$# br& (#qßJä3øtrB ÉAôyèø9$$Î/ 4
Artinya:
 “Apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil”. (QS. Al-Nisa : 58).
Selanjutnya terdapat pula kata ‘awaanun yang digunakan al-Qur’an untuk menggambarkan keadaan pertengahan atau yang ideal terhadap binatang semacam sapi. Sebagaimana hal ini terlihat pada ayat yang berbunyi:
$pk¨XÎ) ×ots)t/ žw ÖÚÍ$sù Ÿwur íõ3Î/ 8b#uqtã šú÷üt/ y7Ï9ºsŒ (
Artinya:
 “Bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang tidak tua dan tidak muda; pertengahan antara itu”. (QS. Al-Baqarah : 68).
Selanjutnya al-Qur’an juga menggunakan kata al-kadzimin untuk menggambarkan sikap antara menyalurkan emosi dan menahannya. Hal ini sejalan dengan ayat yang berbunyi sebagai berikut:
tûïÏ%©!$# tbqà)ÏÿZムÎû Ïä!#§Žœ£9$# Ïä!#§ŽœØ9$#ur tûüÏJÏà»x6ø9$#ur xáøtóø9$#
Artinya:
 “(Yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya”. (QS. Ali  Imran : 134).
Berdasarkan contoh tersebut di atas, dapat dikatakan bahwa dalam menggambarkan keadaan yang adil atau pertengahan, al-Qur’an jauh lebih lengkap, mendetail, dan komprehensif dibandingkan yang diberikan para filosof lainnya.


BAB III
PENUTUP 


A. Kesimpulan
Akhlak secara garis besar dapat dibagi dua bagian, yaitu akhlak yang baik (al-akhlaq al-hasanah), dan akhlak yang buruk (al-akhlaq al-sayyiah).
Secara teoritis macam-macam akhlak tersebut berinduk kepada tiga perbuatan yang utama, yaitu hikmah (bijaksana), syaja’ah (pewira atau kesatria), dan iffah (menjaga diri dari perbutan dosa dan maksiat). Ketiga macam induk akhlak ini muncul dari sikap adil, yaitu sikap pertengahan atau seimbang dalam mempergunakan ketiga potensi rohaniah yang terdapat dalam diri manusia, yaitu ‘aql (pemikiran) yang berpusat di kepala, ghadab (amarah) yang berpusat di dada, dan nafsu syahwat (dorongan seksual) yang berpusat di perut.
Oleh karena itu, dari sikap pertengahan dalam menggunakan akal, amarah, dan nafsu syahwat akan menimbulkan sikap bijaksana, perwira, dan dapat memelihara diri. Dan dari tiga sikap inilah menimbulkan akhlak yang mulia.





Al-Ghazali, Imam, Ihya ‘Ulum al-Din, jilid III, (Teheran: Dar al-Kutub al-Islamiyyah, t.th.
Departemen Agama RI, Al-Qu’ran Al-Karim wa Tarjamah Ma’anih ila Al-Lughah Al-Indunisiyyah, Jakarta: PT. Arga Publising, 2008.
Nata, Abuddin, Akhlak Tasawuf, Jakarta: Rajawali Pers, 2010, Cet. ke-9.



[1] Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010, Cet. ke-9), hlm. 43-44. Lihat juga ; Imam al-Ghazali, Ihya ‘Ulum al-Din, jilid III, (Teheran: Dar al-Kutub al-Islamiyyah, t.th.), hlm. 53.
[2] Departemen Agama RI, Al-Qu’ran Al-Karim wa Tarjamah Ma’anih ila Al-Lughah Al-Indunisiyyah, (Jakarta: PT. Arga Publising, 2008), hlm. 136.
[3] Ibid, hlm. 108.
[4] Ibid, hlm. 361.
[5] Abuddin Nata, Op.cit., hlm. 44-45.
[6] Ibid, hlm. 45.
[7] Departemen Agama RI, Op.cit., hlm. 81.
[8] Abuddin Nata, Op.cit., hlm. 45-46.
[9] Departemen Agama RI, Op.cit., hlm. 455.
[10] Abuddin Nata, Op.cit., hlm. 46-45.

No comments:

Post a Comment