A. Faktor-faktor Pentingnya Penelitian Sanad dan Matan Hadits
Dalam rangka memelihara hadits, siapa saja yang mengaku mendapat hadits
harus disertai dengan sanad. Abdullah bin al-Mubarak berkata “Perumpamaan orang yang mencari agamanya
tanpa isnad, bagaikan orang yang naik ke loteng tanpa tangga”. Keharusan
sanad dalam menerima hadits bukan pada orang-orang khusus saja, bagi masyarakat
umum pun pada saat itu mengharuskan menerimanya dengan sanad. Hal ini mulai
berkembang sejak masa tabi’in, hingga merupakan suatu kewajiban bagi ahli
hadits menerangkan sanad hadits yang ia riwayatkannya.[1] Oleh
karena itu, penelitian sanad dan matan hadits sangat penting, karena disebabkan
adanya beberapa faktor.
Faktor-faktornya
adalah:[2]
1.
Banyaknya pemalsuan hadits setelah
Rasul wafat yang terjadi pada zaman Khalifah Ali bin Abi Muthalib.
2.
Proses penghimpunan hadits ke
dalam kitab-kitab hadits yang memakan waktu cukup lama setelah Rasul wafat.
4.
Terjadinya periwayatan hadits secara makna.
B. Bagian-bagian yang Harus Diteliti
1. Kaidah-kaidah Mayor Kritik Sanad dan Matan
Kaidah kritik sanad dan matan hadits dapat diketahui dari
pengertian istilah hadits shahih. Menurut ulama hadits, misalnya Ibnu al-Shalah
(w. 643 H), menyatakan bahwa hadits shahih ialah “Hadits yang bersambung
sanadnya sampai kepada Nabi, diriwayatkan oleh periwayat yang adil dan dhabit sampai akhir sanad, di dalam
hadits itu tidak terdapat kejanggalan (syudzuz)
dan kecacatan (illat)”.
Dari istilah pengertian tersebut, dapat diuraikan unsur-unsur
hadits shahih menjadi:
1.
Sanadnya bersambung sampai kepada
Nabi.
2.
Periwayatnya bersifat adil.
3.
Periwayatnya bersifat dhabit.
4.
Di dalam hadits itu tidak terdapat
kejanggalan (syudzuz).
5.
Di dalam hadits itu tidak terdapat
kecacatan (illat).
Lima
unsur yang terdapat dalam kaidah mayor untuk sanad di atas sesungguhnya dapat
didapatkan menjadi tiga unsur saja, yakni unsur-unsur terhindari dari syudzuz dan terhindar dari illat dimasukkan pada unsur pertama dan
ketiga. Pemadatan unsur-unsur itu tidak mengganggu substansi kaidah sebab hanya
bersifat metodologi untuk menghindari terjadinya tumpang tindih unsur-unsur,
khususnya dalam kaidah minor.[4]
2. Kaidah-kaidah Minor dalam Kritik Sanad
Apabila masing-masing unsur kaidah mayor bagi keshahihan sanad disertakan
unsur-unsur kaidah minornya, maka dapat dikemukakan butir-butirnya sebagai
berikut:
1.
Unsur kaidah mayor yang pertama,
sanad bersambung, mengandung unsur-unsur kaidah minor:
a.
Muttasil (bersambung)
b.
Marfu’ (bersandar kepada nabi)
c.
Mahfuz (terhindar dari syudzuz)
d.
Bukan Muall (bercacat)
2.
Unsur kaidah mayor yang kedua, periwayatnya
bersifat adil, mengandung unsur-unsur kaidah minor:
a.
Beragama Islam
b.
Mukallaf (balig dan berakal sehat)
c.
Melaksanakan ketentuan agama Islam
d.
Memelihara adab
3.
Unsur kaidah mayor yang ketiga, periwayatnya
bersifat dhabit, mengandung
unsur-unsur kaidah minor:
a.
Hapal dengan baik hadits yang
diriwayatkannya.
b.
Mampu dengan baik menyampaikan
riwayat hadits yang dihapalnya kepada orang lain.
c.
Terhindar dari syudzuz.
d.
Terhindar dari illat.
Dengan acuan kaidah mayor dan kaidah minor bagi sanad tersebut, maka
penelitian sanad hadits dilaksanakan. Sepanjang semua unsur diterapkan secara
benar dan cermat, maka penelitian akan menghasilkan kualitas sanad dengan
tingkat akurasi yang tinggi.[5]
3. Kaidah-kaidah Minor dengan Kritik Matan
Kaidah mayor untuk matan, sebagaimana telah disebutkan, ada dua macam,
yakni terhindar dari syuzuz dan
terhindar dari illat. Ulama hadis
tampaknya mengalami kesulitan untuk mengemukakan klasifikasi unsur-unsur kaidah
minornya secara rinci dan sistematik. Dinyatakan demikian, karena dalam
kitab-kitab yang membahas penelitian hadits, sepanjang yang penulis telah
mengkajinya, tidak terdapat penjelasan klasifikasi unsur-unsur kaidah minor
berdasarkan unsur-unsur kaidah mayornya. Padahal untuk sanad, klasifikasi itu
dijelaskan.
Pernyataan tersebut tidak dimaksudkan bahwa ulama hadits tidak
menggunakan tolok ukur dalam meneliti matan. Tolok ukur itu telah ada, hanya
saja dalam penggunaannya, ulama hadis menempuh jalan secara langsung tanpa
bertahap menurut unsur tahapan kaidah mayor, misalnya dengan memperbandingkan
matan hadis yang sedang diteliti dengan dalil naqli tertentu yang lebih kuat
dan relevan. Jadi, kegiatan penelitian tidak diklasifikasi, misalnya langkah
pertama meneliti kemungkinan adanya syuzuz
dengan unsur-unsur kaidah minornya, lalu diikuti langkah berikutnya meneliti
kemungkinan adanya illat dengan unsur-unsur
kaidah minornya juga.
Yang dapat dinyatakan sebagai kaidah keshahihan matan, oleh jumhur ulama
dinyatakan sebagai tolok ukur untuk meneliti kepalsuan suatu hadits. Menurut
jumhur ulama, tanda-tanda hadits palsu ialah:
1.
Susunan bahasanya rancu.
2.
Isinya bertentangan dengan akal
yang sehat dan sangat sulit diinterprasikan secara rasional.
3.
Isinya bertentangan dengan tujuan
pokok agama islam.
4.
Isinya bertentangan dengan hukum
dan sunnatullah.
5.
Isinya bertentangan dengan sejarah
pasti.
6.
Isinya bertentangan dengan
petunjuk al-Quran ataupun hadits mutawattir yang telah mengandung suatu peunjuk
secara pasti.
7.
Isinya berada di luar kewajaran
diukur dari petunjuk umum ajaran islam.
Walaupun butir-butir tolok ukur penelitian matan tersebut tampak
menyeluruh, tetapi tingkat akurasinya ditentukan juga oleh ketetapan
metodologis dalam penerapannya. Untuk itu kecerdasan, keluasan pengetahuan, dan
kecermatan peneliti sangat dituntut.[6]
[1]
Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, Cet.
ke-3 (Jakarta:
Amzah, 2009) hlm. 213-214.
[2]
Muhammad Ahmad dan M. Mudzakir, Ulumul
Hadis, Cet. ke-3 (Bandung:
CV. Pustaka Setia, 2004) hlm. 125-126.
[3]
Untuk lebih jelas lagi lihat: Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis, Cet. ke-4 (Jakarta:
Pustaka Firdaus, 2004) hlm. 75-80.
[4]
Muhammad Ahmad dan M. Mudzakir, Op.cit.,
hlm. 126-127.
[5] Ibid., hlm. 127-128.
[6] Ibid., hlm. 128-130.
No comments:
Post a Comment