Sunday 23 June 2013

PENTINGNYA PENELITIAN SANAD DAN MATAN HADITS


A.    Faktor-faktor Pentingnya Penelitian Sanad dan Matan Hadits

Dalam rangka memelihara hadits, siapa saja yang mengaku mendapat hadits harus disertai dengan sanad. Abdullah bin al-Mubarak berkata “Perumpamaan orang yang mencari agamanya tanpa isnad, bagaikan orang yang naik ke loteng tanpa tangga”. Keharusan sanad dalam menerima hadits bukan pada orang-orang khusus saja, bagi masyarakat umum pun pada saat itu mengharuskan menerimanya dengan sanad. Hal ini mulai berkembang sejak masa tabi’in, hingga merupakan suatu kewajiban bagi ahli hadits menerangkan sanad hadits yang ia riwayatkannya.[1] Oleh karena itu, penelitian sanad dan matan hadits sangat penting, karena disebabkan adanya beberapa faktor.
Faktor-faktornya adalah:[2]
1.       Banyaknya pemalsuan hadits setelah Rasul wafat yang terjadi pada zaman Khalifah Ali bin Abi Muthalib.
2.       Proses penghimpunan hadits ke dalam kitab-kitab hadits yang memakan waktu cukup lama setelah Rasul wafat.
3.        Jumlah kitab hadits yang sangat banyak dengan metode penyusunan yang sangat beragam.[3]
4.        Terjadinya periwayatan hadits secara makna.   

B.     Bagian-bagian yang Harus Diteliti

1.   Kaidah-kaidah Mayor Kritik Sanad dan Matan

Kaidah kritik sanad dan matan hadits dapat diketahui dari pengertian istilah hadits shahih. Menurut ulama hadits, misalnya Ibnu al-Shalah (w. 643 H), menyatakan bahwa hadits shahih ialah “Hadits yang bersambung sanadnya sampai kepada Nabi, diriwayatkan oleh periwayat yang adil dan dhabit sampai akhir sanad, di dalam hadits itu tidak terdapat kejanggalan (syudzuz) dan kecacatan (illat)”.
Dari istilah pengertian tersebut, dapat diuraikan unsur-unsur hadits shahih menjadi:
1.      Sanadnya bersambung sampai kepada Nabi.
2.      Periwayatnya bersifat adil.
3.      Periwayatnya bersifat dhabit.
4.      Di dalam hadits itu tidak terdapat kejanggalan (syudzuz).
5.      Di dalam hadits itu tidak terdapat kecacatan (illat).
Lima unsur yang terdapat dalam kaidah mayor untuk sanad di atas sesungguhnya dapat didapatkan menjadi tiga unsur saja, yakni unsur-unsur terhindari dari syudzuz dan terhindar dari illat dimasukkan pada unsur pertama dan ketiga. Pemadatan unsur-unsur itu tidak mengganggu substansi kaidah sebab hanya bersifat metodologi untuk menghindari terjadinya tumpang tindih unsur-unsur, khususnya dalam kaidah minor.[4]

2.   Kaidah-kaidah Minor dalam Kritik Sanad

Apabila masing-masing unsur kaidah mayor bagi keshahihan sanad disertakan unsur-unsur kaidah minornya, maka dapat dikemukakan butir-butirnya sebagai berikut:
1.      Unsur kaidah mayor yang pertama, sanad bersambung, mengandung unsur-unsur kaidah minor:
a.       Muttasil (bersambung)
b.      Marfu’ (bersandar kepada nabi)
c.       Mahfuz (terhindar dari syudzuz)
d.      Bukan Muall (bercacat)  
2.      Unsur kaidah mayor yang kedua, periwayatnya bersifat adil, mengandung unsur-unsur kaidah minor:
a.       Beragama Islam
b.      Mukallaf (balig dan berakal sehat)
c.       Melaksanakan ketentuan agama Islam
d.      Memelihara adab
3.      Unsur kaidah mayor yang ketiga, periwayatnya bersifat dhabit, mengandung unsur-unsur kaidah minor:
a.       Hapal dengan baik hadits yang diriwayatkannya.
b.      Mampu dengan baik menyampaikan riwayat hadits yang dihapalnya kepada orang lain.
c.       Terhindar dari syudzuz.
d.      Terhindar dari illat.
Dengan acuan kaidah mayor dan kaidah minor bagi sanad tersebut, maka penelitian sanad hadits dilaksanakan. Sepanjang semua unsur diterapkan secara benar dan cermat, maka penelitian akan menghasilkan kualitas sanad dengan tingkat akurasi yang tinggi.[5] 

3.   Kaidah-kaidah Minor dengan Kritik Matan

Kaidah mayor untuk matan, sebagaimana telah disebutkan, ada dua macam, yakni terhindar dari syuzuz dan terhindar dari illat. Ulama hadis tampaknya mengalami kesulitan untuk mengemukakan klasifikasi unsur-unsur kaidah minornya secara rinci dan sistematik. Dinyatakan demikian, karena dalam kitab-kitab yang membahas penelitian hadits, sepanjang yang penulis telah mengkajinya, tidak terdapat penjelasan klasifikasi unsur-unsur kaidah minor berdasarkan unsur-unsur kaidah mayornya. Padahal untuk sanad, klasifikasi itu dijelaskan.
Pernyataan tersebut tidak dimaksudkan bahwa ulama hadits tidak menggunakan tolok ukur dalam meneliti matan. Tolok ukur itu telah ada, hanya saja dalam penggunaannya, ulama hadis menempuh jalan secara langsung tanpa bertahap menurut unsur tahapan kaidah mayor, misalnya dengan memperbandingkan matan hadis yang sedang diteliti dengan dalil naqli tertentu yang lebih kuat dan relevan. Jadi, kegiatan penelitian tidak diklasifikasi, misalnya langkah pertama meneliti kemungkinan adanya syuzuz dengan unsur-unsur kaidah minornya, lalu diikuti langkah berikutnya meneliti kemungkinan adanya illat dengan unsur-unsur kaidah minornya juga.
Yang dapat dinyatakan sebagai kaidah keshahihan matan, oleh jumhur ulama dinyatakan sebagai tolok ukur untuk meneliti kepalsuan suatu hadits. Menurut jumhur ulama, tanda-tanda hadits palsu ialah:
1.      Susunan bahasanya rancu.
2.      Isinya bertentangan dengan akal yang sehat dan sangat sulit diinterprasikan secara rasional.
3.      Isinya bertentangan dengan tujuan pokok agama islam.
4.      Isinya bertentangan dengan hukum dan sunnatullah.
5.      Isinya bertentangan dengan sejarah pasti.
6.      Isinya bertentangan dengan petunjuk al-Quran ataupun hadits mutawattir yang telah mengandung suatu peunjuk secara pasti.
7.      Isinya berada di luar kewajaran diukur dari petunjuk umum ajaran islam.
Walaupun butir-butir tolok ukur penelitian matan tersebut tampak menyeluruh, tetapi tingkat akurasinya ditentukan juga oleh ketetapan metodologis dalam penerapannya. Untuk itu kecerdasan, keluasan pengetahuan, dan kecermatan peneliti sangat dituntut.[6]


[1] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, Cet. ke-3 (Jakarta: Amzah, 2009) hlm. 213-214.
[2] Muhammad Ahmad dan M. Mudzakir, Ulumul Hadis, Cet. ke-3 (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2004) hlm. 125-126.
[3] Untuk lebih jelas lagi lihat: Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis, Cet. ke-4 (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004) hlm. 75-80.
[4] Muhammad Ahmad dan M. Mudzakir, Op.cit., hlm. 126-127.
[5] Ibid., hlm. 127-128.
[6] Ibid., hlm. 128-130.

No comments:

Post a Comment